Rabu, 20 November 2019

Rum

Tulisan Syahidussyahar (Om Jojo)

Rum
(Surat untuk kawan Budi Djanglaha)

Emisryah Al-Khaidir
Bekerja di Ruma koffi rampa
Tinggal di Soarora, Tidore 

Tempat kecil ini tepat lurus menghadap ke tengah Ternate. Kota bandar sibuk, silau pijar, ramai orang datang & pergi. Memandangnya dari Rum itu sebuah kontras, disana semua kemeriahan tersaji, disini kesunyian beku mendekap batu-batu Fort Tsjobee. Dua kota, dua pertanda, dari sejarah masa lalu yang paradoks. Gamlamo disana, Castiglia disini. Dibawah fort Tsjobee, tugu Spanyol berdiri kaku, sebuah tugu beton untuk mengenang Captain Juan Antonio De Elcano kawan Fransisco Serrao yang “membelot” ke raja Charles V dari Spanyol. Mengepalai sebuah ekspedisi gemilang saat itu, karena menemukan Maluku pada abad XIV itu sebuah prestise. Memandang tepat ke jantung bandar Ternate, membayangkan alasan kedatangan para "conquestador” itu. Disini, di Rum, tepat di sebuah sore tiga jam sebelum matahari terbenam, pada hari Jumat tanggal 6 November tahun 1521. Dipandu oleh dua orang Melayu penunjuk jalan, lambung Victoria dan Trinidad membusung angkuh melego jangkar. Segala kemeriahan upacara tersaji, rupa-rupa paji & bandera, meriam-meriam menggelegar, soldado berbaju perang berbaris dihaluan tanda sukacita.

Dua hari setelah itu Raja Sultan Mansoor datang berkunjung. Diantar dengan iringan kora-kora, duduk dibawah tirai sutra yang melindunginya dari semua arah terik matahari, dihadapannya duduk salah satu puteranya sambil memegang tongkat kerajaan, dan dua orang lagi memegang kendi emas untuk menyirami tangannya, dua orang lainnya memegang dua kotak berisi tempat sirih pinang. Naik ke atas kapal sang Sultan menolak untuk membungkuk, maka ia memasuki haluan dari atas kapal. Diatas kapal semua orang menciumi tangannya. Duduk dikursi belapis beludru merah, ia diselimuti sepotong jubah beludru berwarna kuning yang terbuat dalam gaya Turki sebagai tanda penghormatan. Raja Sultan Mansoor, raja Tidore orang Moro, masih muda, sekitar 45 tahun, seorang astrolog handal, raja bijak yang memiliki rasa ingin tahu yang besar. Naif tapi juga agung, demikian (alm.) Des Alwi menggambarkannya. Dibandar ini, 495 tahun lalu ia pertama kali bertemu dengan De Elcano, kuasa asing Eropa pertama yang datang ke Tidore. Dihadapan Del Cano, sang Sultan berujar, “Mulai hari ini dan seterusnya pulau ini jangan lagi disebut Tadore tetapi Castiglia, karena kasih sayang kami yang besar kepada Raja Spanyol”.

Disini di bandar ini, Rum. Tersembunyi dikaki pulau vulkanik eksotis Tadore, dibawah puncak menjulang Marijang yang diselimuti awan putih melingkar laksana surban para darwis Persia. Dilereng batunya Cengkeh, pala dan kayu manis ranum bertumbuh ratusan luas tanah, mashyur lampaui nusa semenjak peradaban bangsa Assyria, Sumeria, Mesir dan Somalia hingga Timur Tengah, Cina, Asia Tenggara, dan India. Mengutip Brierley dalam Syaiful Bahri Ruray (2010:5) ”... Queen of Sheba brought precious stones, gold and spices to Solomon in 992 BC, and 3000 pounds of pepper...”. Semua bukti-bukti itu menunjukkan bahwa bandar kecil ini memiliki peran penting dalam jalur perniagaan rempah sejak zaman purba. Eropa baru datang ke Maluku pada abad ke-15, ketika buah emas ini telah menjadi komoditas yang sedemikian terkenalnya di jalur Sutera sebagai jalur perniagaan melalui Asia yang menghubungkan Timur dan Barat. Dibawa oleh orang-orang dagang China dan Arab menggunakan karavan dan kapal laut, jalur perdagangan rempah itu melintasi rute Utara melalui Bulgar-Kipchak ke Eropa Timur dan Semenanjung Crimea, menuju Laut Hitam, Laut Marmara, dan Balkan ke Venesia, sementara itu rute Selatan melewati Turkestan-Khorasan menuju Mesopotamia dan Anatolia, Antiokia di selatan Anatolia menuju ke Laut Tengah atau melalui Levant ke Mesir dan Afrika Utara sejak ribuan tahun lalu. 

Pada Abad ke-15 cengkeh dan pala kemudian membuat para bangsawan Spanyol dan Portugis tak bisa nyenyak, aromanya menembus ke jantung Castil para raja, menggoda nafsu para conquestadore itu untuk datang. Des Alwi (2006:102) mencatat hasil perniagaan cengkeh dan pala yang didapat Spanyol dan Portugis di pasar Eropa pada abad ke 16 adalah 1-1,5 juta poundsterling per-tahun angkut. Jika dikonversi dengan kurs dollar saat ini, maka nilainya setara dengan 50-100 Juta Dollar AS. Sebuah keuntungan dagang yang fantastis, yang dipakai sebagai modal untuk membangun kota-kota di Eropa yang terang-benderang saat ini.

Siapa sangka, dulu bandar kecil ini memiliki arti begitu penting dalam percaturan ekonomi-politik global. Terutama untuk Portugis & Spayol, dua gurita maritim raksasa yang sibuk berseteru memperebutkan jalur pelayaran untuk menganeksasi sumber-sumber daya alam baru di Maluku Kie Raha. Pertikaian demi pertikaian yang menyebabkan Paus Yulis II dari Roma harus turun tangan untuk mengatur pembagian jalur pelayaran melalui Perjanjian Tordesilllas (7 Juni 1494), yang membagi dunia di luar Eropa menjadi duopoli eksklusif antara Spanyol melalui jalur sebelah barat kepulauan Tanjung Verde (lepas pantai barat Afrika) dan Portugal di sebelah timur. Menyusul perjanjian Saragosa yang secara spesifik membagi jalur pelayaran ke Maluku.  Ia, semua karena cengkeh dan pala, buah emas yang menggegerkan dunia itu. Jan Huygen van Linschoten, seorang musafir pengelana abad ke-16 menulis dalam karyanya yang masyhur “Itineraria, Voyage ofte Schiptvaert naer Oost ofte Portugaels Indien”, tentang Kepulauan Maluku, khususnya Ternate dan Tidore “...pulau-pulau kecil ini tak punya apa-apa, kecuali cengkeh. Tapi begitu banyaknya, sehingga seperti ternyata mampu memenuhi dunia ...” 

Perjalanan ke pulau cengkeh ini pula yang telah memberikan kontribusi penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa, terutama yang berkaitan dengan geografi. Bandar tua ini menjadi titik pembenaran teori pengetahuan. Ia berhasil membuktikan hipotesis Galileo-Galilei yang kemudian diteruskan oleh Copernicus, bahwa bumi berbentuk bulat (geosentris), bukan datar dan berbentuk persegi empat (heliosentris) sebagaimana doktrin suci Gereja Roma sekian ratus tahun sebelumnya. Rum, membuktikan eksistensinya sebagai titik nol dunia, meminjam catatan Nani Djafar (Malut Post 26 Maret 2016) bahwa Rum adalah titik yang menguak kebenaran pemikiran Copernicus setelah de Elcano dengan kapal Trinidad dan Victoria berlabuh di pantai barat Pulau Tidore pada tahun itu. 

Dulu, ditahun-tahun yang telah purba, pulau ini pernah menjadi labuhan yang begitu penting bagi dunia. Rum, ia pernah punya sebuah catatan gemilang. Dulu, segala rupa kuasa asing lalu lalang, datang & pergi silih berganti disini, karena buah emas yang mashur itu, mempengaruhi jantung bandar niaga Dunia hingga Eropa pada abad ke-14, pula sekaligus membongkar doktrin Gereja Roma tentang bentuk bumi (heliosentris) sebagai akar pengetahuan geografi moderen. Akan tetapi buah emas itu juga yang kemudian menjadi sumber malapetaka terbesar sepanjang sejarah kekuasaan politik para Raja dan Sultan-sultan Maluku Kie Raha berikutnya. Terutama bagi Ternate dan Tidore, dua rival yang tak pernah akur dipanggung peradaban. Dua pulau kecil, dua pendirian sekeras basalt gunung api, bahan dasar kedua pulau vukanik. Itulah Ternate dan Tidore, dua kawah peluap lahar iri hati dan persaingan penuh dengki dalam lomba siapa-siapa yang perdana, masing-masing dengan sultan dan beserta kaum sangaji, bobato dan kimelaha yang sama-sama angkuh, membawahi para nakhoda dan juanga-juanga, kora-kora, galai-galai, dan lakufunu, terisi sekian ribu jago kelahi. Itulah Ternate dan Tidore, dua bintik kecil hampir saling menghimpit, dua saudara kembar dari satu telur, tetapi mati-matian saling remuk-meremuk. Demi apa?. Demi gengsi dan harga diri yang membubung menggulung-gulung seperti asap-asap zat arang dan belerang vulkan-vulkan mereka. (Yulian Tamaela 2015:267-269)

Rum, siokona magogoru naro-naro, ditempat ini dulu Juan Anonio De Elcano & Raja Sultan Manzoor pernah berhadap-hadapan, head to head bertukar kepentingan. Satu bandar, dua kuasa bertemu. Tapi sekarang ia hanya punya sebuah tugu batu tua sebagai pengenang. Menjadi saksi bisu, bernostalgia dengan masa lalu gemilang yang terabaikan. Rum, darimanakah nama bandar tua ini berasal. Hanya sebuah nama dari masa lalu saja, tempat orang dagang dan para kuasa pernah bertemu. Ataukah sebuah bandar untuk mengenang Roma yang agung tapi naif nun jauh disana. Entahlah.  

Salam

0 komentar:

Posting Komentar