This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 20 November 2019

Rum

Tulisan Syahidussyahar (Om Jojo)

Rum
(Surat untuk kawan Budi Djanglaha)

Emisryah Al-Khaidir
Bekerja di Ruma koffi rampa
Tinggal di Soarora, Tidore 

Tempat kecil ini tepat lurus menghadap ke tengah Ternate. Kota bandar sibuk, silau pijar, ramai orang datang & pergi. Memandangnya dari Rum itu sebuah kontras, disana semua kemeriahan tersaji, disini kesunyian beku mendekap batu-batu Fort Tsjobee. Dua kota, dua pertanda, dari sejarah masa lalu yang paradoks. Gamlamo disana, Castiglia disini. Dibawah fort Tsjobee, tugu Spanyol berdiri kaku, sebuah tugu beton untuk mengenang Captain Juan Antonio De Elcano kawan Fransisco Serrao yang “membelot” ke raja Charles V dari Spanyol. Mengepalai sebuah ekspedisi gemilang saat itu, karena menemukan Maluku pada abad XIV itu sebuah prestise. Memandang tepat ke jantung bandar Ternate, membayangkan alasan kedatangan para "conquestador” itu. Disini, di Rum, tepat di sebuah sore tiga jam sebelum matahari terbenam, pada hari Jumat tanggal 6 November tahun 1521. Dipandu oleh dua orang Melayu penunjuk jalan, lambung Victoria dan Trinidad membusung angkuh melego jangkar. Segala kemeriahan upacara tersaji, rupa-rupa paji & bandera, meriam-meriam menggelegar, soldado berbaju perang berbaris dihaluan tanda sukacita.

Dua hari setelah itu Raja Sultan Mansoor datang berkunjung. Diantar dengan iringan kora-kora, duduk dibawah tirai sutra yang melindunginya dari semua arah terik matahari, dihadapannya duduk salah satu puteranya sambil memegang tongkat kerajaan, dan dua orang lagi memegang kendi emas untuk menyirami tangannya, dua orang lainnya memegang dua kotak berisi tempat sirih pinang. Naik ke atas kapal sang Sultan menolak untuk membungkuk, maka ia memasuki haluan dari atas kapal. Diatas kapal semua orang menciumi tangannya. Duduk dikursi belapis beludru merah, ia diselimuti sepotong jubah beludru berwarna kuning yang terbuat dalam gaya Turki sebagai tanda penghormatan. Raja Sultan Mansoor, raja Tidore orang Moro, masih muda, sekitar 45 tahun, seorang astrolog handal, raja bijak yang memiliki rasa ingin tahu yang besar. Naif tapi juga agung, demikian (alm.) Des Alwi menggambarkannya. Dibandar ini, 495 tahun lalu ia pertama kali bertemu dengan De Elcano, kuasa asing Eropa pertama yang datang ke Tidore. Dihadapan Del Cano, sang Sultan berujar, “Mulai hari ini dan seterusnya pulau ini jangan lagi disebut Tadore tetapi Castiglia, karena kasih sayang kami yang besar kepada Raja Spanyol”.

Disini di bandar ini, Rum. Tersembunyi dikaki pulau vulkanik eksotis Tadore, dibawah puncak menjulang Marijang yang diselimuti awan putih melingkar laksana surban para darwis Persia. Dilereng batunya Cengkeh, pala dan kayu manis ranum bertumbuh ratusan luas tanah, mashyur lampaui nusa semenjak peradaban bangsa Assyria, Sumeria, Mesir dan Somalia hingga Timur Tengah, Cina, Asia Tenggara, dan India. Mengutip Brierley dalam Syaiful Bahri Ruray (2010:5) ”... Queen of Sheba brought precious stones, gold and spices to Solomon in 992 BC, and 3000 pounds of pepper...”. Semua bukti-bukti itu menunjukkan bahwa bandar kecil ini memiliki peran penting dalam jalur perniagaan rempah sejak zaman purba. Eropa baru datang ke Maluku pada abad ke-15, ketika buah emas ini telah menjadi komoditas yang sedemikian terkenalnya di jalur Sutera sebagai jalur perniagaan melalui Asia yang menghubungkan Timur dan Barat. Dibawa oleh orang-orang dagang China dan Arab menggunakan karavan dan kapal laut, jalur perdagangan rempah itu melintasi rute Utara melalui Bulgar-Kipchak ke Eropa Timur dan Semenanjung Crimea, menuju Laut Hitam, Laut Marmara, dan Balkan ke Venesia, sementara itu rute Selatan melewati Turkestan-Khorasan menuju Mesopotamia dan Anatolia, Antiokia di selatan Anatolia menuju ke Laut Tengah atau melalui Levant ke Mesir dan Afrika Utara sejak ribuan tahun lalu. 

Pada Abad ke-15 cengkeh dan pala kemudian membuat para bangsawan Spanyol dan Portugis tak bisa nyenyak, aromanya menembus ke jantung Castil para raja, menggoda nafsu para conquestadore itu untuk datang. Des Alwi (2006:102) mencatat hasil perniagaan cengkeh dan pala yang didapat Spanyol dan Portugis di pasar Eropa pada abad ke 16 adalah 1-1,5 juta poundsterling per-tahun angkut. Jika dikonversi dengan kurs dollar saat ini, maka nilainya setara dengan 50-100 Juta Dollar AS. Sebuah keuntungan dagang yang fantastis, yang dipakai sebagai modal untuk membangun kota-kota di Eropa yang terang-benderang saat ini.

Siapa sangka, dulu bandar kecil ini memiliki arti begitu penting dalam percaturan ekonomi-politik global. Terutama untuk Portugis & Spayol, dua gurita maritim raksasa yang sibuk berseteru memperebutkan jalur pelayaran untuk menganeksasi sumber-sumber daya alam baru di Maluku Kie Raha. Pertikaian demi pertikaian yang menyebabkan Paus Yulis II dari Roma harus turun tangan untuk mengatur pembagian jalur pelayaran melalui Perjanjian Tordesilllas (7 Juni 1494), yang membagi dunia di luar Eropa menjadi duopoli eksklusif antara Spanyol melalui jalur sebelah barat kepulauan Tanjung Verde (lepas pantai barat Afrika) dan Portugal di sebelah timur. Menyusul perjanjian Saragosa yang secara spesifik membagi jalur pelayaran ke Maluku.  Ia, semua karena cengkeh dan pala, buah emas yang menggegerkan dunia itu. Jan Huygen van Linschoten, seorang musafir pengelana abad ke-16 menulis dalam karyanya yang masyhur “Itineraria, Voyage ofte Schiptvaert naer Oost ofte Portugaels Indien”, tentang Kepulauan Maluku, khususnya Ternate dan Tidore “...pulau-pulau kecil ini tak punya apa-apa, kecuali cengkeh. Tapi begitu banyaknya, sehingga seperti ternyata mampu memenuhi dunia ...” 

Perjalanan ke pulau cengkeh ini pula yang telah memberikan kontribusi penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa, terutama yang berkaitan dengan geografi. Bandar tua ini menjadi titik pembenaran teori pengetahuan. Ia berhasil membuktikan hipotesis Galileo-Galilei yang kemudian diteruskan oleh Copernicus, bahwa bumi berbentuk bulat (geosentris), bukan datar dan berbentuk persegi empat (heliosentris) sebagaimana doktrin suci Gereja Roma sekian ratus tahun sebelumnya. Rum, membuktikan eksistensinya sebagai titik nol dunia, meminjam catatan Nani Djafar (Malut Post 26 Maret 2016) bahwa Rum adalah titik yang menguak kebenaran pemikiran Copernicus setelah de Elcano dengan kapal Trinidad dan Victoria berlabuh di pantai barat Pulau Tidore pada tahun itu. 

Dulu, ditahun-tahun yang telah purba, pulau ini pernah menjadi labuhan yang begitu penting bagi dunia. Rum, ia pernah punya sebuah catatan gemilang. Dulu, segala rupa kuasa asing lalu lalang, datang & pergi silih berganti disini, karena buah emas yang mashur itu, mempengaruhi jantung bandar niaga Dunia hingga Eropa pada abad ke-14, pula sekaligus membongkar doktrin Gereja Roma tentang bentuk bumi (heliosentris) sebagai akar pengetahuan geografi moderen. Akan tetapi buah emas itu juga yang kemudian menjadi sumber malapetaka terbesar sepanjang sejarah kekuasaan politik para Raja dan Sultan-sultan Maluku Kie Raha berikutnya. Terutama bagi Ternate dan Tidore, dua rival yang tak pernah akur dipanggung peradaban. Dua pulau kecil, dua pendirian sekeras basalt gunung api, bahan dasar kedua pulau vukanik. Itulah Ternate dan Tidore, dua kawah peluap lahar iri hati dan persaingan penuh dengki dalam lomba siapa-siapa yang perdana, masing-masing dengan sultan dan beserta kaum sangaji, bobato dan kimelaha yang sama-sama angkuh, membawahi para nakhoda dan juanga-juanga, kora-kora, galai-galai, dan lakufunu, terisi sekian ribu jago kelahi. Itulah Ternate dan Tidore, dua bintik kecil hampir saling menghimpit, dua saudara kembar dari satu telur, tetapi mati-matian saling remuk-meremuk. Demi apa?. Demi gengsi dan harga diri yang membubung menggulung-gulung seperti asap-asap zat arang dan belerang vulkan-vulkan mereka. (Yulian Tamaela 2015:267-269)

Rum, siokona magogoru naro-naro, ditempat ini dulu Juan Anonio De Elcano & Raja Sultan Manzoor pernah berhadap-hadapan, head to head bertukar kepentingan. Satu bandar, dua kuasa bertemu. Tapi sekarang ia hanya punya sebuah tugu batu tua sebagai pengenang. Menjadi saksi bisu, bernostalgia dengan masa lalu gemilang yang terabaikan. Rum, darimanakah nama bandar tua ini berasal. Hanya sebuah nama dari masa lalu saja, tempat orang dagang dan para kuasa pernah bertemu. Ataukah sebuah bandar untuk mengenang Roma yang agung tapi naif nun jauh disana. Entahlah.  

Salam

Senin, 18 November 2019

Nyala Spirit Grecele - Heroes

Nyala Spirit Grecele

'Kemana perginya teriakan grecele...?'

Akademisi, Penulis
Nyala Spirit Grecele
Foto: Pemancing Cakalang/Ghazali Hasan.

 19/11/2019 ·  3 Menit Baca

TOMALOU merupakan kisah yang terpuruk. Tatkala Pemerintah Daerah mendorong bidang perikanan  menjadi komoditas unggulan saat ini,  sebaliknya, nyanyi nelayan Tomalou “tak lagi terdengar”. Ketika geriap modernitas menyapu semua lini bidang pembangunan, Tomalou makin kehilangan spirit, dan para nelayan tak lagi ramai melaut.

Tomalou, sebuah desa arah Tidore Selatan dengan penduduk kurang lebih 5000-an jiwa, merupakan kisah hilangnya sebuah perhatian. Tatkala rombongan perahu nelayan tradisional ditarik dari pantai, dan teriakan yang menghentak : “grecele” membahana, tapak-tapak kaki kokoh menyeret perahu membelah laut, dan meninggalkan garis panjang di pantai menjadi penanda betapa panjangnya semangat para nelayan warga Tomalou. Tapi garis panjang, guratan, dan gerusan, juga turut memberi tanda betapa rapuhnya semangat itu, ketika gelombang air laut menghapusnya perlahan.

Grecele merupakan nyala spirit yang menjadi “komando”–dan hampir separuh daerah di pesisir Maluku Utara memiliki pelecut semangat ini. Kini, di langit Tomalou tak lagi terdengar gelegarnya. Grecele kehilangan resonansi, grecele tenggelam dalam hiruk-pikuk pencari kerja, ketika mata pencarian sebagai nelayan mulai ditinggalkan pelan-pelan, dan tak lagi menjadi kebanggaan warganya.

Kebanggaan nelayan Tomalou, kini berubah menjadi cerita pengantar tidur bagi generasi saat ini. Generasi milenial, yang tak lagi mengenal semua itu. Lalu, kebanggaan itu hanya tinggal kenangan. Jejak-jejak kebanggaan itu sudah terbenam dalam memori. Entah kapan bisa bangkit lagi.
  
Potensi perikanan menjadi sesuatu yang seksi, tatkala semua orang membicarakannya. Tak pandang pejabat atau masyarakat kecil. Bahkan menurut data dan hasil analisis, bidang perikanan mampu menjadi “tabungan” bagi kesejahteraan daerah ini untuk sekian generasi ke depan. Bayangkan, kita memiliki potensi subsektor perikanan dan kelautan (standing stock) sebesar 694.382,48 ton per tahun dengan potensi lestari sebesar 347.191,24 ton per tahun, dan baru dapat dimanfaatkan sebesar 26,51% atau sekitar 92.052,21 ton per tahun.


 
Pada sisi lain, sub-sektor perikanan dan nelayan juga bernasib sama. Tak mampu bangkit berdiri. Bahkan melahirkan ketimpangan relasi antara negara dan masyarakat ini.

Nelayan kian terkucil, dan bidang perikanan menjadi kebijakan yang tetap “mandul”. Bahkan di beberapa daerah, konflik nelayan buruh dengan para pemilik alat tangkapan kian terbuka. Sebaliknya, pada masanya, di Tomalou, nelayan justru menjadi pemilik alat tangkap/alat produksi (pajeko). Tak ada hubungan produksi, tak ada konflik. Nelayan Tomalou merupakan potret nelayan humanis-profesional yang tanpa seremoni, tapi mampu menjadi lumbung produksi ikan terbesar saat itu. Mereka tumbuh mandiri. Melalui fiber mereka memasok cakalang dan tuna, melalui pajeko mereka menyumbang sorihi dan komo. Di Tomalou, modal sosial itu dirawat dan dijaga. Tomalou, barangkali tesis Marx tentang relasi pemilik alat produksi dan bukan pemilik alat produksi tak bertempur mati-matian. Sebaliknya, saling menghidupi
.
Merujuk data (lama) produksi perikanan tangkap Kota Tidore Kepulauan untuk cakalang sejak tahun 2005 (2671,39 ton), tahun 2006 (2671,4 ton), tahun 2007 (4.502,74 ton) dan tahun 2008 (4727,8 ton). Lalu ikan tuna, tahun 2005 (298.09 ton), tahun 2006 (298.1 ton), tahun 2007 (785,06 ton) dan tahun 2008 (824,31 ton)  [Profil Wilayah Kota Tidore Kepulauan 2009]. Apakah ini disuplay dari nelayan Tomalou dan lainnya, saya belum tahu. Tapi angka-angka tersebut cukup memberikan kita asumsi betapa besar produksi ikan yang ada, tahun-tahun itu. Lantas, kini? kemana perginya semangat grecele?

 

Bagi saya, grecele, selain sebagai nyala spirit, juga menyemburatkan sebuah etos dan kemampuan bertahan di tengah gempuran dan tantangan (endurance). Warga Tomalou bukanlah the quitters, mereka yang cepat menyerah dan gagal. Warga Tomalou merupakan the climbers, bila merujuk pada kategori pendaki, yakni mereka yang tidak mengenal rintangan, jatuh tapi terus bangkit, lalu melanjutkan perjalanan lagi dan berhenti ketika tiba di puncak. 

Warga Tomalou, Sang Grecele, kini sudah berada di “puncak” dari hasil kerja panjang mereka. Namun gurat sendu masih terlihat, karena spirit mereka tak terlihat di lautan, berjibaku dengan tantangan. Mereka kini, lebih berjibaku dengan pekerjaan-pekerjaan apa adanya, bahkan beralih sebagai tukang ojek dan sebagainya. Pajeko dan fiber sudah tak lagi ramai terlihat berderet memanjang di bibir pantai Tomalou. Tersisa satu dua pajeko dan fiber di sana, dan pada akhirnya, tak ada yang tersisa.

Tomalou, kawasan nelayan yang tangguh, yang pernah dilambangkan pada gerbang desa dengan simbol perahu fiber dan ikan cakalang kini tak terlihat lagi. Secara tidak langsung, ini menunjukkan "runtuhnya" ketangguhan nelayan Tomalou. Sebaliknya, warga Tomalou, saat ini mulai mengembangkan kemampuan anak-anaknya sebagai hafidz/hafidzah (penghafal al-Qur’an). Inilah yang menurut saya, warga Tomalou merupakan the Climbers, memiliki kemampuan beradaptasi di tengah tantangan dengan mempersiapkan generasi penerus.

Tomalou kini tengah bertransformasi. Mempersiapkan generasi Qur’ani yang kokoh menghadang tantangan perubahan jaman. Saya percaya, warga Tomalou dapat menangkap isyarat jaman. Semangat dan nyala grecele ternyata diperuntukkan untuk mempersiapkan sumber daya insani yang kuat. Menghadapi pergerakan pembangunan ekonomi ke depan, semangat grecele sudah harus dijadikan jawaban untuk beradaptasi memperkuat fondasi semangat berusaha bagi generasi ke depan, sehingga semangat Qur’ani, harus diimbangi dengan semangat bekerja. Karena bekerja dalam Islam adalah wajib. Bekerja merupakan beruf (keterpanggilan) dalam istilah sosiolog Jerman, Max Weber, dan ini telah tertanam kuat ketika rumpong bambu sudah tak lagi rimbun di sana.
 
Semangat nelayan merupakan nyala grecele yang harus  terus dihidupkan dan disinergikan sebagai modal dan jaminan dalam kehidupan sosial, apapun tantangan yang akan dihadapi. Spirit grecele harus menjadi “pemicu” untuk warga Tomalou bangkit dengan potensinya ke depan.... Tahun 2020, Festival Tomalou menjadi tapak awal kebangkitan spirit Grecele........Salute[]

Rabu, 06 November 2019

PROLOG GARDA NUKU

Prolog Sekilas GARDA NUKU

Tabea...
Semoga dipanjangkan usia zaman, sehat wal'afiat, selamat dan sentosa.

Generasi Muda Nuku disingkat Garda Nuku sejak didirikan 2005 silam dan dilantik Maret 2006, telah menjadi paguyuban pemuda yang berbeda. Garda Nuku memberi perhatian pada gerakan kultural, adat tradisi, sejarah dan budaya, kesenian, kreatifitas kaum muda, dan mendorong percepatan pembangunan daerah.

Maitara Festival dengan serangkaian kegiatan tradisional, edukasi, kesenian, dan olahraga tiga kali digelar. Kini Pemkot Tidore Kepulauan menjadikannya agenda tahunan. Bersama komunitas Mata Hati melakukan advokasi perlindungan benda cagar budaya, seperti Benteng Tjobe (Spanyol) di Rum Tidore, Benteng Nostra se Nora del Rosario (Portugis) di Kastela, Ternate, dan lain sebagainya.

Sejak akhir 2007 dan awal 2008, Garda Nuku menjadi inspirator, konseptor mendorong reorientasi visi dan program Ikatan Keluarga Tidore (IKT) yang berfokus pada pada aksi sosial kemanusiaan dan dimulailah aksi sosial BARI FOLA Untuk Kemanusiaan juga beberapa kegiatan lainnya.

Sebagai paguyuban pemuda dengan SDM relatif baik, dialektika pemikiran relatif intensif dan dinamis di internal Garda Nuku, terutama keinginan mencari format sebuah gerakan kultural yang eksis dan efektif.

Sebagai bagian dari gerakan sosial, maka gerakan kultural memprasaratkan adanya orientasi nilai yang kuat (ideologis) selain kelembagaan, modal sosial dan konsepsional. Muncul pula kegelisahan bagaimana membumikan falsafah kebudayaan kesultanan-kesultanan Moloku Kie Raha yang terbukti sangat ampuh membentuk pribadi pemimpin sekaliber Sultan Nuku, Syaifuddin 'Jou Kota', Khairun, Baabullah, Sultan Banau, dan lain sebagainya, dengan kiprah dan pencapaian mereka yang besar.

Diskursus itupun pada kesadaran menjadikan Sultan Nuku Amirudin, yang merupakan satu-satunya Pahlawan Nasional dari Moloku Kie Raha (Maluku Utara), sebagai simbol pemersatu dan inspirator Gerakan Kultural generasi Moloku Kie Raha kini dan nanti, agar bersedia secara konsisten menjadikan "Marimoi Ngone Futuru" sebagai sejatinya tekad dan kesadaran mendorong pihak kesultanan, pemerintah daerah dan masyarakat untuk peduli merumuskan masa depan bersama Persekutuan Moloku Kie Raha yang maju, sejahtera dan berkeadaban.

Memulai maksud dan tujuan besar tersebut, Garda Nuku sungguh menyadari perlu membenahi dan memperkuat kelembagaan. Diskusi mendalam lebih satu tahun memuncak pada beberapa simpulan pokok:

Pertama, segera merevitalisasi kepengurusan dengan kepemimpinan baru, visi dan tekad baru yang lebih fokus dan terarah. Pada 28 Juni 2016 Miladiyah atau 23 Ramadhan 1437 Hijriyah, pimpinan baru terpilih melalui musyawarah mufakat Dewan Pembina yang menunjuk dan mengangkat  ABDULLAH DAHLAN dan BUDI JANGLAHA sebagai Ketua dan Sekertaris Umum, serta SUTOPO ABDULLAH dan HAMID SALASA sebagai Bendahara Umum dan Wakil Bendahara. Mereka berempat dibantu oleh beberapa mede formateur kemudian menyusun kepengurusan lengkap Garda Nuku periode 2016-2021 atau lima tahun kedepan.

Kedua, Garda Nuku harus menjadi organisasi terbuka dan akomodatif sebagai prasarat konsolidasi kelembagaan dan konsolidasi gagasan mengejewantahi visi besar di atas. Harus pula mempresentasikan potensi kaum muda Moloku Kie Raha. Sejumlah tokoh muda dari berbagai daerah di Maluku Utara direkrut mengisi struktur kepengurusan. Lebih jauh, Garda Nuku akan membentuk kepengurusan di semua kabupaten/kota di Maluku Utara, di beberapa kabupaten di Maluku, Papua, Papua Barat, Sulawesi Utara, Tengah, Selatan dan Sulawesi Tenggara, hingga ke Pulau Jawa. Langkah konkrit ke arah sana dilakukan. Kepengurusan di beberapa daerah telah terbentuk.

Ketiga, Garda Nuku segera memantapkan visinya menjadi "Rumah Besar" entitas pemikir, pegiat, pemerhati kebudayaan, adat tradisi tak terkecuali isu dan permasalahan pembangunan daerah yang relevan. Rumah Besar Garda Nuku mulai mengagendakan Gerakan Kultural, memproduksi dan mereproduksi wacana dan diskursus, serta upaya nyata mengembalikan Moloku Kie Raha ke masa depannya, mentransformasikan spirit dan elan vital kebudayaan masa lalu yang unggul untuk menjawab permasalahan hari ini dan tantangan masa depan.

Keempat, Garda Nuku segera mampu merumuskan agenda yang "penting" sekalugus "menarik", sebagai langkah awal yang konkrit mengejawantahkan visi besar yang dimaksud. Setelah melalui beberapa kali pembahasan mendalam, diputuskan untuk memanfaatkan momentum "Haul Nuku" ke 211 Tahun, 14 November 2016 sebagai titik tolak menghelat sejumlah kegiatan monumental, yakni NUKU World Festival, yang diawali dengan ziarah makam para Sultan Moloku Kie Raha, konfederasi idea, menggelar agreemeent persekutuan Moloku Kie Raha, Ratib dan Taji Besi Massal, Ekspedisi Nuku, Monolog Nuku Pangge Pulang, hingga pameran foto dan lukisan religi Kie Raha.

Tujuannya, menjadikan Sultan Nuku sebagai simbol pemersatu dan menghidupkan spirit perjuangan Nuku, mendorong pembelajaran, membina kesadaran, pemahaman dan kecintaan pada budaya, tradisi dan kearifan luhur melalui kegiatan2 kultural, religi, seni dan budaya, serta kegiatan kreatif lainnya. Membina persatuan, kerukunan di dalam daerah, antar daerah berbasis historis-kultural untuk menjaga persatuan dan kesatuan serta kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mendorong terbinanya kerjasama antardaerah, antarwilayah, yang dipandang dapat memberikan manfaat bagi percepatan pembangunan di masing-masing daerah, khususnya pengembangan kepariwisataan dan kebudayaan, pengembangan Sumber Daya Manusia, transfer pengetahuan dan teknologi praktis untuk mendorong kesejahteraan masyarakat, serta saling upaya-upaya pelestarian tradisi dan budaya daerah.

"NUKU PANGGE PULANG"

Ya...mari pulang. Pulang ke tata nilai luhur kita yang menjunjung "Toma Loa se Banari (Kebenaran dan Keadilan), Suba se Paksaan (Saling Menghormati), Adat se Nakodi (Adat dan Tradisi), Budi se Bahasa (Adab se Tata Krama), Syah se Fakati (Musyawarah dan Mufakat), Ngaku se Rasai (Saling Mengakui dan Menyayangi), Cing se Cengari (Kebersatuan Pemimpin dengan Rakyat), Mae se Kolfino, tede Suba te Jou Madubo (Malu dan Takut, Menujunjung Tinggi Tuhan Yang Maha Tinggi).

NUKU memanggil kita pulang pada titik keberanian untuk gelorakan perlawanan terhadap penindasan, eksploitasi, serta tindakan dan kebijakan koruptif atau kebijakan irasional yang menghambat pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

NUKU memanggil kita pulang ke garis batas yang tegas untuk membedakan antara yang "hak dan yang bathil".

NUKU memanggil kita pulang ke titik berangkat sebenarnya, untuk kembali menata masa depan wilayah persekutuan Moloku Kie Raha, yakni; Maluku Kie Raha, Maluku, Papua, Papua Barat, Sulawesi Utara, Tengah, Selatan, dan lain sebagainya, yang maju dan berkeadaban.

Demikian warkatul ikhlas ttg kiprah Garda Nuku.
___________________

Mari Sukseskan NUKU World Festival 14 November 2016.

#NukuPanggePulang
#GardaNuku