This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 19 Desember 2018

"Tidak Boleh Ada Air Mata"

Dan waktu liburan itu pun habis. Saatnya, mengantar kembali Alya ke pondok Pesantren Al-Iman Ponorogo. Dari Surabaya ke Madiun kami menumpangi Kereta Api, lamanya perjalanan lebih dari 2 jam. Tiba di Madiun, kami menaiki mobil (grab) ke Ponorogo dengan jarak tempuh lebih dari 30 menit.

Tiba di Pesantren, Alya dan juga santri-santri lainnya disambut penuh ramah. Rata-rata mereka (yang menyambut) adalah para senior yang sudah lulus dan harus mengabdi minimal 1 tahun di pesantren. Mereka menyambut para santri dan mengambil koper, tas, maupun barang bawaan lain untuk diperiksa satu per satu. Ketentuan berpakaian di pesantren sangatlah ketat dan penuh disiplin.

Jujur, inilah yang saya sukai dalam tradisi pesantren. Bahkan dinamika sangat produktif. Hampir tidak ada waktu terbuang percuma/sia-sia. Setiap hari, pagi sampai malam di isi dengan berbagai aktivitas pembelajaran, tentunya di luar jam makan dan tidur; seperti belajar ilmu agama, pengetahuan umum, penghafalan Quran bagi tahfidz, sholat fardu dan sunah, puasa Senin-Kamis, berdzikir, dan lainnya. Saya mengamatinya dengan sangat detail setiap momen dan aktivitas mereka. Saya hanya bisa menggeleng kepala.. "Masya Allah.. sistem pendidikannya luar biasa," gumam saya dalam hati.

Akhirnya, tiba waktunya pamit pulang. Alya meminta kami (ayah, bunda dan 2 adiknya) untuk menunggunya di pintu gerbang pesantren karena dia masih menunaikan Shalat Dzuhur.

Usai shalat, dia pun menghampiri. Kami berpelukan di situ. Yang berkesan bagi saya adalah pesannya. "Ayah, jangan pernah bosan mendoakan Alya." Saya lantas mencium kepalanya dengan mata berkaca. Anak ini memberi isyarat bahwa tidak boleh ada air mata di situ. "Tetaplah menjadi anak yg Tawadhu, Alya. Selalu menjaga hati dan niat segala amal," bisikku pelan di telinganya.

Terlihat Alya berusaha untuk tegar. Ya.. saya melihat dari binar matanya menyimpan kesedihan yang teramat dalam untuk enggan berpisah. Namun anak ini begitu kuat menahan perasaan sedihnya.
Tidak boleh ada kesedihan diperpisahan ini. "Ayah dan bunda menyerahkan sepenuhnya.. semuanya hanya kepada Allah Azza Wa Jalla. Dia-lah Yang Maha Perkasa dan sebaik-baiknya pemberi perlindungan."

Kami pun pamit.. dari pintu gerbang pesantren itu Alya tetap berdiri sambil melambai tangan hingga mobil yang kami tumpangi hilang dari pandangannya.

Barakallah.. Alya.

◻Ponorogo, Selasa 18 Desember 2018.




Minggu, 15 April 2018

Pidato Tanpa Teks Sultan Tidore Menyatakan Otsus Moloku Kieraha

SEBAGIAN PESAN SULTAN TIDORE YANG MULIA HAJI HUSAIN SJAH

1. Kita, bangsa Tidore, dilahirkan dari sumsum dzurriyat orang-orang terhormat. Tanah yang saat ini kita injak, tanah Tidore, adalah tanah yang diberkahi yang telah melahirkan banyak orang hebat, orang besar, yang mengukir dengan tinta emas di panggung sejarah.

2. Dari Negeri Tidore lahir Sultan Nuku. Beliau memerintah 27 tahun, tapi selama 25 tahun tidak pernah tinggal di dalam Istana. Beliau berjuang mengusir penjajah dan tinggal di hutan-hutan atau di atas lautan. Kekuasaan beliau membentang ke mana-mana. 1/3 wilayah yang saat ini menjadi bagian NKRI adalah hasil kerja keras beliau yang membebaskannya dari penjajahan. Bahkan wilayah kepemimpinan beliau juga meliputi Pulau Papua (sekarang menjadi bagian Indonesia dan sebagiannya adalah negara Papua Nugini), dan kepulauan di Samudera Pasifik yang kini menjadi bagian dari negara lain. Sebagian pulau-pulau itu menggunakan nama "Nuku" pada namanya. Meski ia tak lagi menjadi bagian Indonesia, tapi budaya yang diwariskan Sultan Nuku masih mengakar di sana.

3. Karena kehebatannya, bangsa penjajah pun sampai memberikan julukan kepada Sultan Nuku sebagai The Lord of Fortune, Sultan yang Diberkahi. Bangsa penjajah pun mengakui bahwa Sultan Nuku bukan sekedar manusia biasa, melainkan beliau adalah orang yang sangat dekat dengan Tuhan, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kemenangan demi kemenangan yang diraih Sultan Nuku tidak lepas dari campur tangan Allah yang Maha Kuasa. Maka sebagai anak cucu Tidore yang terlahir dari dzurriyat orang-orang terhormat dan lahir dari tanah yang diberkahi, sudah seharusnya bangsa Tidore senantiasa mendekatkan dirinya kepada Allah yang Maha Kuasa.

Sultan Nuku adalah ikon atau simbol pemersatu. Sultan Nuku dengan segala reputasi dan perjuangannya selalu bebas (bersih) dari konflik kepentingan dan polemik secara kultural dan politis. Untuk itu, pahlawan nasional Sultan Nuku menjadi tokoh sentral spirit kejuangan dan peneladanan.

4. Dari Tidore lahir pula seorang pejuang dan pahlawan, Tuan Guru Abdullah Qaadi Abdus Salam. Beliau dibuang oleh penjajah ke Capetown, Afrika Selatan. Beliau pun membangun masjid yang dikenal dengan nama Masjid Auwal, masjid pertama di Afrika Selatan, dan membangun madrasah Islam atau pesantren di Afrika Selatan. Beliaulah yang menginspirasi rakyat Afrika Selatan meraih kemerdekaannya.

Maka sekeluar Nelson Mandela dari penjara, ia memberikan gelar "Pahlawan Nasional Afrika Selatan" kepada Tuan Guru. Ia berkata tentang Tuan Guru, "He is my inspiration, Beliau (Tuan Guru) adalah laki-laki yang datang dari negeri yang jauh, dari Tidore, Indonesia. Meski saya tidak tau di mana itu Tidore, tapi Tuan Guru adalah seorang laki-laki yang telah menginspirasi saya. Beliaulah yang mengajarkan arti kemerdekaan dan perjuangan."

Nelson Mandela, Presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan, juga mengatakan, "Kami adalah bagian dari Tuan Guru dan Tuan Guru adalah bagian dari kami. Kita (rakyat Afrika Selatan) bisa merdeka hari ini karena beliau."

Ketika saya (Sultan Tidore Hi. Husain Sjah) berkunjung ke Afrika Selatan, saya diterima oleh Wakil Presiden Afrika Selatan. Ketika tiba jamuan makan, saya berpikir akan diajak makan di kediaman beliau. Ternyata tidak. Saya dibawa ke suatu bukit di tengah kota Capetown. Di atas bukit tersebut berdiri sebuah bangunan megah, di situlah lokasi jamuan makannya. Di kawasan itulah Tuan Guru diasingkan dan memulai perjuangannya di Afrika Selatan. Wakil Presiden ternyata mengundang seluruh anggota parlemen Afrika Selatan. Di tempat itu, beliau memperkenalkan saya kepada seluruh anggota parlemen (jumlahnya ratusan orang), "Saudara-saudara sekalian, hadir di tengah-tengah kita Sultan Tidore dari Negeri Tidore, Indonesia. Dari keluarga dan dari negeri beliaulah lahir pahlawan nasional yang menginspirasi kebebasan dan kemerdekaan bangsa kita, Afrika Selatan, yakni Tuan Guru Abdullah Qaadi Abdus Salam."

Di jantung kota Capetown ada sebuah jembatan yang diberi nama Jembatan Tuan Guru. Semoga saudara-saudara sekalian jika kelak berkesempatan ke Afrika Selatan dapat mengunjunginya untuk melihatnya.

5. Dari Negeri Tidore juga lahir salah satu putra terbaik yang bernama Sultan Syaifuddin. Beliau bergelar Jou Kota yang karena kecerdasan pemikirannya, beliau berhasil mengantarkan bangsa Tidore kepada kegemilangan peradaban yang bahkan pemikiran-pemikiran beliau dipelajari dan diambil oleh bangsa-bangsa lain di dunia.

Kota dalam pengertian bangsa Tidore adalah, dari sesuatu yang kurang baik menjadi lebih baik, dari sesuatu yang biasa menjadi luar biasa. Dan Sultan Syaifuddin mendapat julukan Jou Kota karena keberhasilannya.

Salah satu pemikiran beliau adalah tentang sistem pemerintahan dan kekuasan yang kemudian beliau terapkan di Tidore. Kehebatan metode kepemimpinan Sultan Syaifuddin yang menerapkan sistem tersebut lalu diadopsi oleh John Locke dengan teori "Two Treaties"-nya dan juga diadopsi oleh Montesquieu dengan teori "Trias Politica"-nya. Sesungguhnya mereka hanya mencontoh apa yang dilakukan oleh Sultan Syaifuddin dari Tidore. Sultan Syaifuddin atau bangsa Tidore sendiri telah menerapkan teori-teori atau sistem pemerintahan semacam itu sejak 120 tahun sebelum John Locke dan Montesquieu memperkenalkannya ke seluruh dunia.

6. Ada satu hal di luar nalar yang boleh jadi Bapak Ibu dan para hadirin tidak akan memercayainya. Tapi, saya harus menyampaikannya. Sudah mafhum kita ketahui tentang akhir zaman melalui ayat-ayat suci Alquran dan hadits-hadits Nabi bahwa kota yang tidak akan dimasuki dajjal adalah Kota Mekah dan Kota Madinah. Maka jika kelak dunia ini dihancurkan (kiamat), jika Mekah dan Madinah adalah dua kota terakhir yang hancur, maka saya... maka saya... dengan keyakinan spiritual yang saya miliki, tanah yang saat ini saudara-saudara berdiri di atasnya, yang kita semua sekarang berada di atasnya, adalah satu kota terakhir yang akan hancur terakhir kali, sebelum Mekah dan Madinah, yakni Tidore yang diberkahi ini.

7. Kemarin saya bertemu Profesor Antonio dari Lisboa, Portugal. Beliau adalah guru besar sejarah di University of Macau. Beliau menyampaikan kepada saya, "Di dunia ini tidak ada satu pun kekuasaan yang mampu bertahan tanpa bargaining power. Dan di dunia ini tidak ada negeri yang mempunyai bargaining power sebegitu besar di kancah dunia, kecuali Kesultanan Tidore ini."

Maka dengan kejeniusannya, Presiden Soekarno tau bagaimana caranya mengembalikan Tanah Papua ke pangkuan NKRI pada waktu perjuangan pembebasan Irian Barat, yaitu harus melalui diplomasi menggunakan bargaining power. Presiden Soekarno kala itu sangat memahami bahwa bargaining power Kesultanan Tidore sangat besar. Maka beliau datang kepada Sultan Tidore Zainal Abidin Sjah. Beliau minta bantuan Sultan Tidore untuk membantu perjuangan pembebasan Irian Barat. Maka ketika tawaran itu disampaikan kepada rakyat Papua, mereka memilih bergabung dengan Kesultanan Tidore, daripada di bawah penjajahan Belanda.

Dan dengan kebijakan pemikirannya yang luas, Sultan Tidore menyerahkan kekuasaannya, yaitu seluas 1/3 wilayah Indonesia sebelah timur, untuk digabung dengan NKRI. Padahal saat itu Kesultanan Tidore secara merdeka berhak menentukan nasibnya sendiri. Ada tiga pilihan saat itu bagi Kesultanan Tidore, yaitu (1) menjadi negara merdeka dan berdaulat (Negara Tidore), (2) bergabung dengan Federasi Belanda, atau (3) bergabung dengan NKRI. Dengan jiwa besarnya Sultan Tidore saat itu rela bergabung dengan NKRI. Dua kali Presiden Soekarno berkunjung ke Tidore dan menjanjikan akan memberikan keistimewaan bagi Tidore, tapi belum sempat keistimewaan itu diberikan, beliau telah wafat.

8. Dalam isu pembangunan poros maritim dunia, maka Kepulauan Maluku Utara ini adalah pusat kekuatan poros maritim dunia!

9. Hari ini (Kamis, 12 April 2018) saya, Sultan Tidore, menyatakan, saya bersama-sama dengan Kesultanan Ternate, Kesultanan Bacan, dan Kesultanan Jailolo, yang merupakan cikal bakal Moloku Kie Raha, akan sekuat tenaga memperjuangkan hadirnya status "Daerah Istimewa" bagi Maluku Utara. (Seusai Sultan Hi. Husain Sjah menyampaikan hal itu, hadirin riuh menyambutnya; ada yang dengan takbir dan ada yang dengan tepuk tangan keras-keras).

Maluku Utara ini sangat istimewa pada banyak halnya. Maka sudah sepantasnya status keistimewaan itu dimilikinya.
(Disampaikan dalam orasi Sultan Tidore ke-37, Hi. Husain Sjah, pada rangkaian acara puncak Festival Tidore 2018 dan Hari Jadi Tidore ke-910, Kamis, 12 April 2018, di halaman Kadato Kie Kesultanan Tidore, Maluku Utara, dihadapan ribuan hadirin yang terdiri dari para Sultan, para pejabat dari Jakarta, para tamu undangan, para pimpinan, tokoh adat dan tokoh masyarakat, serta rakyat Tidore dan Maluku Utara).

------------------------------------------
Ditulis oleh Shiddiq Gandhi
Tentang isi pidato tanpa teks oleh Sultan Tidore Husain Sjah pada Upacara Puncak Hari Jadi Tidore ke-910 di halaman Kadato Kie Kesultanan Tidore, Kamis, 12 April 2018.

#SerialCatatanku
#HJT910
#MolokuKieRaha
#KesultananTidore
#SultanTidore
#FestivalTidore
#VisitTidoreIsland

Sultqn Tidore saat menyampaikan Bobero Gosimo pada HJT ke-910 tahun 2018.
 Sultan Tidore menyerahkan buku "Pemberontakan Nuku" kepada Prof. DR. Rizal Ramli di HJT ke 910 tahun.
 Sultan / Kolano Tidore H Husain Sjah
Sultan Tidore Husain Sjah saat berkunjung ke Kadato Tidore di Ternate.

Selasa, 10 April 2018

SEKILAS MENELISIK SYAIFUDDIN, JOHN LOCKE DAN MONTESQUIEU

Sultan Syaifuddin atau Jou Kota, memimpin Kesultanan Tidore 1657- 1674. Selama kepemimpinannya banyak melakukan pembaharuan penting ketatanegaraan dan tata hubungan sosial. Pembahuruan yang mempromosikan kesultanan ini pada pencapaian terbaik dalam sejarah ketatanegaraan dan tata hubungan sosialnya.

Mula-mula sang sultan memindahkan pusat pemerintahan dari Kadato (keraton) Biji Nagara atau Kadato Kota ma You di Negeri Toloa ke Kadato Kie, di Sonyine Salaka  (Taman Perak), di Negeri Timore atau sekarang Soasio.

Selain mempertimbangkan stabilitas keamanan karena pusat pemerintahan di Toloa, pesisir Barat Tidore, relatif berdekatan dengan Ternate, pusat VOC di Maluku pada masa itu, perpindahan pusat pemerintahan ke Soasio di pesisir Timur Pulau Tidore ini untuk mengefektifkan kendali wilayah kesultanan (sphere of control), atas wilayah tengah Pulau Halmahera, dari pesisir barat di Oba hingga semenajung timur di wilayah Gam Range (Weda, Patani dan Maba) serta pulau-pulau di sekitarnya. Wilayah tengah Pulau Halmahera ini merupakan penyanggah utama pangan, niaga dan pasukan.
 
Perubahan terpenting Sultan Syaifuddin ialah menetapkan azas-azas yang merupakan landasan bagi bangunan ketatanegaraan, tata-hubungan sosial kemasyarakatan dan tata niaga Kesultanan Tidore. Loa se Banari (lurus/adil dan benar), Kie se Kolano (kesatuan integralistik pemimpin, yang dipimpin dan semua komponen bangsa), Syah se Fakati (musyawarah dan mufakat), Ator se Atoran (pengaturan fungsi dan wewenang), Adat se Nakodi (keberadaban), Cing se Cingare (pemimpin yang merakyat dan rendah hati/mengayomi), Fara se Filang (pembagian dan distribusi urusan dan bagi hasil/keuangan), merupakan azas-azas berpemerintahan.

Azas-azas hubungan sosial antara lain, Suba se Pakasaan  (saling menghormati), Ngaku se Rasai (saling mengakui/mengapresiasi dan menyayangi), Ole se Nyemo-nyemo, Budi se Bahasa (tatakarama berbicara dan sopan santun dalam pergaulan), Mae se Kolofino tede suba te Jou Ma Dubo (Malu dan takut semata-mata karena Allah SWT, Tuhan Yang Maha Tinggi).

Dalam bidang tata niaga, Syaifuddin menetapkan kepastian jumlah dan takaran barang-barang yang diperdagangkan. Misalnya, jumlah seikat ikan kecil (Tude) 40 ekor, ikan kembung sedang 8 ekor dan ikan kembung besar 6 ekor. Satu Galafea ikan Julung kering terdiri dari 10 Waya (jepitan dari bambu), satu Waya isinya 23-24 ekor. Seikatan Gaba (Baliu) isinya 20 batang. Seterusnya mengatur pula panjang dan jumlah kayu dalam kubikasi, dan lain sebagainya.

Sultan Syaifuddin bahkan memantapkan kebijakan bidang keagrariaan dengan tataguna tanah dan hutan yang relatif baik.  Aha Kolano (Tanah Negara) digunakan hanya untuk Tola Gumi (kebun sementara) dan pembukaan ladang baru untuk tumpang sari. Tomako ma ace  (bekas/jejak tebasan kapak), lahan yang hutannya dapat dimanfaat untuk keperluan bahan bangunan dan kayu bakar. Jurami, kebun khusus komoditi tertentu dengan sistem bagi hasil. Gura, kebun tetap tanpa bagi hasil. 

Azas-azas Sultan Syaifuddin dalam uraian terdahulu, adalah azas-azas hukum (rechtstiegin-selen) yang dalam perspektif ilmu hukum merupakan landasan pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum, atau serangkaian norma dasar bagi pembentukan hukum positif.

Dari azas-azas tersebut, Sultan Syaifuddin kemudian melakukan perubahan terbesar dan terpenting melalui serangkaian reformasi tata kepemerintahan kesultanan. 
Tatanan peninggalan Sultan Jamaluddin I alias Ciriliyati yang merupakan perubahan tahap awal yang disebut Kolano se i Bobato Dunnya  se i Bobato Acherat  (Kolano/Sultan dengan Perangkat urusan pemerintahan-adat dan Perangkat Urusan Syari’ah-Keagamaan), diubah-sempurnakan oleh Syaifuddin menjadi Kolano se i Bobato Pehak Raha (Kolano/Sultan dengan Empat Perangkat Utama).

Pehak Labe, membidangi urusan keagamaan, syar’i dan peradilan, dipimpin oleh Qadhi, mengkoordinir para imam, khatib dan modim, mulai dari perangkat di level atas dan seterusnya ke bawah sampai ke kampung-kampung.

Pehak Adat, membidangi urusan pemerintahan, dipimpin oleh Jojau (Perdana Menteri) mengkoordinir Kapita Lau (Menteri/Panglima Pertahanan Keamanan), Hukum Yade (Menteri Urusan Luar), Hukum Soasio (Menteri Urusan Dalam) Bobato Ngofa (Urusan Kabinet)
Pehak Kompania, membidangi urusan Pertahanan Keamanan, dimpin oleh Kapita Kie (Kepala Staf), dibantu oleh Jou Mayor dan Kapita Ngofa.

Pehak Juru tulis, membidangi urusan Administrasi Negara dan Tatalaksana, dipimpin oleh Tuli lamo/Tullamo  (Menteri Sekretaris Negara), mengkoordinir Sadaha (Urusan Rumah Tangga Istana), Sowohi Kie (Protokoler Kesultanan), Fomanyira Ngare (Humas), Syahbandar (Administrasi Pelayaran).

Rangkain penataan itu sampai ke struktur pemerintahan bawah, Nyili Lofo-lofo, Oba, Weda, Patani Maba, Nyili Gulu-gulu, Raja Ampat dan Papua, Fato Sio dan Fato Limau, meliputi Seram, Kai Tanimbar dan sekiatarnya.

Dari kedudukan dan fungsi Pehak Raha dan perangkatnya, dapat dipersamakan dengan gabungan departemen yang memiliki kedekatan fungsi dan tugas, yang dikepalai oleh seorang Menteri Koordinator. Pemantapan fungsi Bobato Nyagimoi se Tufkange (Bobato 18), lembaga yang berfungsi sebagai parlemen atau lembaga legislatif. Di dalamnya terdiri atas 9 orang dari jajaran Pehak Labe, yakni Qadhi, para Imam atau Bobato Acherat yang juga merupakan Mahkamah Peradilan, dan 9 bobato dari Pehak Adat (urusan pemerintahan).

Lembaga Bobato 18 ini merupakan lembaga tertinggi yang menetapkan Fato se i Bobato (ketentuan/peraturan pokok dan lembaga yang berkewenangan). Fato se Bobato dalam mekanisme dan hirarki perundangan-undangan di Indonesia dapat dipersamakan dengan Ketetapan MPR dan sebagainya.
Berikutnya Kolano se i Bobato (Kolano/Sultan dan keputusannya). Membandingkannya dengan mekanisme pembuatan perundangan di Indonesia, Kolano se i Bobato dapat dipersamakan dengan Keputusan Presiden, Instruksi Presdiden, bahkan untuk konteks masalah yang bersifat strategis, dapat dipersamakan dengan Perpu.

Sementara Syah se Fakati (mengesahkan dan menyepakati) merupakan mekanisme pembuatan perundangan atas usul inisiatif, untuk kemudian dipertimbangkan dan disahkan oleh intitusi berkewenangan yang kedudukannya lebih tinggi dari pengusul atau penginisitif. Misalnya para bobato tingkat daerah mengajukan inisiatif pengaturan hal-hal penting tertentu kepada Sultan. Sultan mempertimbangankannya, menyetujui dan mengesahkannya.

Keseluruhan gagasan dan konsep tersebut merupakan paradigma yang maju dan modern kurun itu. Azas-azas kepemerintahan misalnya, memuat tegas prinsip ketuhanan, moralitas dan etik, prinsip pemerintahan demokratis (democratic government), pembagian dan distribusi kekuasaan (distrubution/separation of powers), otonomi dan desentralisasi, serta praktik pembagian keuangan antara pusat dan daerah. 

Jika menyelaraskan Azas-azas dan praktik kepemerintahan dengan Azas-azas Hubungan Sosial konsepsi Sultan Syaifuddin maka prinsip-prinsip Good Governance  telah menjadi kesadaran bahkan telah dipraktekkan.

Sementara, sejarah mencatat reorientasi dari paradigma Goverment dengan kekuasaan yang dominan, hirakis dan cenderung tertutup ke paradigma Good Governanance yang lebih demokratis, egaliter, partisipatif, baru berkembang di Barat abad ke-20 dan perlahan berevolusi ke kematangannya, meluas ke negara-negara dunia ketiga baru pada 1970an, seiring intensitas kampanye demokratisasi oleh Barat.

Keseluruhan gagasan dan konsepsi negara modern Sultan Syaifuddin dimulai pada 1663. Dalam dekade yang bersamaan dengan John Locke meraih gelar sarjana mudanya di Universitas Oxford pada 1656 dan sarjana penuh pada 1658.
Locke yang lahir di Wrington, Inggris, 1632, tumbuh menjadi anak muda multi talenta, meminati sekaligus beberapa ilmu pengetahuan, kimia dan kedokteran, politik hingga filsafat sebagai pamuncak. Namun terdapat kalangan menyebutkan sampai dengan tahun 1670, Locke belum dapat dikatakan sebagai seorang filsuf. Pada saat yang sama Sultan Syaifuddin di Tidore telah mantap dengan konsep negara modern yang aplikatif, bahkan telah menerpakannya.

Sedikit menyinggung pemikiran John Locke dan Montesquieu yang masyuhur itu dan Indonesia termasuk negara yang mengadopsinya. Locke dengan konsepsi “pembagian kekuasaan” dalam magnum opus-nya “Two Treatises of Government” (1689), membagi kekuasaan negara ke dalam tiga fungsi, yakni fungsi legislative, fungsi eksekutif dan fungsi federatif.
Setengah abad kemudian Charles Secondat Baron de Labrede et de Montesquieu (1668-1748) dengan L’Espirit des Lois (The Spirit of the Laws) yang terbit pada 1748.

Montesquieu mengusung konsespsi “pemisahan kekuasaan” yang kemudian dikenal dengan Trias Politika. Montesquieu membagi kekuasaan negara dalam tiga matra, yakni, kekuasaan membuat undang-undang (legislatif), kekuasaan menyelenggarakan undang-undang (eksekutif) dan kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran undang-undang (yudikatif).

Kedua konsepsi memiliki tujuan sama menghindari peguasa dengan kekuasaannya yang melampaui batas dan menjadi sewenang-wenang. Untuk itu diperlukan mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances system). Perbedaannya, Locke memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif. Artinya dari ketiga fungsi kekuasaan yang dipisah oleh Locke, 2 (dua) kekuassan berada di tangan raja (pengusa) dan 1 (satu) berada di tangan kaum bangsawan. Sementara Montesquieu lebih menguatamakan fungsi kekuasaan kehakiman (judicial), dan memisahkan ketiga fungsi kekuasaan secara tegas.

Memperhatikan tenggat waktu, Sultan Syaifuddin menerapkan konsep dan pemikiran kenegaraannya yang matang melalui penetapan azas pemerintahan, azas hubungan sosial, dan azas tataniaga, merancang sistem ketatanegraan yang modern dan demokratis pada 1663. Lebih dini 26 tahum dari tahun penerbitan magnum opus Jhon Locke, Two Treatises of Government (1689) dan 85 tahun dari tahun penerbitan Magnum opus Montesquieu, L’Espirit des Lois (1748).

Sebagai sebuah konsep, pemikiran Locke dan Montesquieu tentu tidak serta-merta dan seketika itu juga dirujuk oleh negara bangsa di Eropa. Konsep tersebut melalui proses diskursus panjang sampai diyakini sebagai konsep yang baik untuk diimplementasikan. Sampai pada titik ini, tak berlebihan jika mengatakan konsepsi negara modern dan demokratis dari Sultan Syaifuddin, salah satu sultan besar Tidore, eksis lebih kurang 1 (satu) abad sebelum konsepsi dan pemikiran Locke dan apalagi Montesquieu diadopsi oleh negara-negara di barat.

Walaupun konsepsi negara modern Syaifuddin tidak tertulis sehingga membuat relatif sulit membandingkannya vis a vis, tegas dan metodis terhadap konsespsi Locke dan Montesquieu. Namun melihat falsafah, esensi dan efektifitasnya, wacana ini rasanya patut mendapat perhatian.

Di titik inilah tantangan generasi Tidore dan Maluku Utara menggali dan mengembangkannya. Pihak perguruan tinggi, khususnya dosen dan mahasiswa pascasarjana konsentrasi hukum dan lebih khusus lagi Hukum Tata Negara semoga tertarik meneliti dan menulisnya agar menjadi sumbangsih bagi bahan studi ilmu hukum dan politik di Indonesia.

◻Sofyan Daud, Budayawan Maluku Utara
24 September 2016


Selasa, 27 Februari 2018

Kalibiru

Cinta yang baik dan benar seperti awal mula Tuhan menciptakan alam semesta.
DIA menciptakan segala sesuatunya indah, sehingga setiap orang yang memandangnya akan terkesan.

Perhatikanlah bagaimana gunung-gunung yang menjulang, langit yang menjadi atap bumi tanpa tiang. Jika kita harus membayar setiap kenikmatan dan karunia yang Allah SWT berikan, maka seluruh kekayaan dan hidup kita pun sama sekali tidak mencukupi. Maha Suci Allah. Dialah yang menciptakan segala sesuatunya berguna bagi manusia.

***

Menyempatkan waktu berkunjung ke Wisata Alam Kalibiru, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Yogyakarta.

▫️Kulon Progo, Selasa 27 Pebruari 2018.

#SalamLestari