This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 31 Mei 2020

MENYESAL SAAT SAKARATUL MAUT

Melihat Nabi Muhammad saw. di Madinah menjadi magnet bagi masyarakat Madinah. Mereka berkeinginan agar Nabi Muhammad tinggal di rumah-rumah mereka. Tidak lain agar mereka bisa dekat dengan nabi dan rasul terakhir tersebut. Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya Nabi Muhammad menemukan sebidang tanah milik dua orang anak Yatim Sahl dan Suhail. Di sinilah dibangun rumah Nabi Muhammad. Di tanah yang sama, tepat di samping rumah dibangun Masjid Nabawi untuk tempat ibadah umat Islam.

Masjid Nabawi yang berdempetan dengan rumah Nabi menjadi pusat kegiatan umat Islam pada saat itu. Mulai dari tempat Nabi Muhammad mengajarkan ajaran islam hingga tempat umat Islam menyusun rencana perang. Tempat yang sangat strategis ini menarik para sahabat untuk tinggal di sekitarnya. Mereka berbondong-bondong membangun rumah di sekitaran Masjid Nabawi dan rumah Nabi agar dapat melanjutkan shalat lima waktu bersama, bergabung dengan majelis ilmu dan hikmah yang dilaksanakan oleh Nabi, dan lain sebagainya.

Namun ternyata, tidak semua sahabat memiliki suka untuk tinggal dekat dengan kediaman Nabi dan Masjid Nabawi. Ada satu sahabat yang lebih memilih tinggal berjauhan dengan Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam.  Namanya Sya'ban. Rumahnya paling jauh dari rumah yang dilihat Nabi Muhammad dan Masjid Nabawi jika dibandingkan dengan sahabat-sahabat lainnya. Disebutkan bahwa jarak rumah Sya'ban dengan Masjid Nabawi atau rumah Nabi kira-kira tiga jam jalan kaki. Meski demikian, Sya'ban tidak pernah ketinggalan shalat berjamaah bersama yang dilihat Nabi Muhammad. di Masjid Nabawi.

ALKISAH, Sya’ban RA adalah seorang sahabat yang tidak menonjol dibandingkan sahabat-sahabat yang lain. Ada suatu kebiasaan unik dari Sya’ban RA ini, yaitu setiap masuk masjid sebelum sholat berjamaah dimulai dia selalu beritikaf dipojok depan masjid.

Dia mengambil posisi di pojok bukan karena supaya mudah senderan atau tidur, namun karena tidak mau mengganggu orang lain dan tak mau terganggu oleh orang lain dalam beribadah. Kebiasaan ini sudah dipahami oleh sahabat bahkan oleh RasululLah Shallallahu `alaihi Wa Sallam, bahwa Sya’ban RA selalu berada di posisi tersebut termasuk saat sholat berjamaah.

Suatu pagi saat sholat subuh berjamaah akan dimulai RasululLah Shallallahu `alaihi Wa Sallam mendapati bahwa Sya’ban RA tidak berada di posisinya seperti biasa. Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam pun bertanya kepada jamaah yang hadir apakah ada yang melihat Sya’ban RA. Namun tak seorangpun jemaah yang melihat Sya’ban RA.

Sholat subuhpun ditunda sejenak untuk menunggu kehadiran Sya’ban RA. Namun yang ditunggu belum juga datang.
Khawatir sholat subuh kesiangan, Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam memutuskan untuk segera melaksanakan sholat subuh berjamaah.

Selesai sholat subuh, Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam bertanya apa ada yang mengetahui kabar dari Sya’ban RA.
Namun tak ada seorangpun yang menjawab.

Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam bertanya lagi apa ada yang mengetahui di mana rumah Sya’ban RA. Kali ini seorang sahabat mengangkat tangan dan mengatakan bahwa dia mengetahui persis di mana rumah Sya’ban RA. Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam yang khawatir terjadi sesuatu dengan Sya’ban RA meminta diantarkan ke rumah Sya’ban RA.

Perjalanan dengan jalan kaki cukup lama ditempuh oleh Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam dan rombongan sebelum sampai ke rumah yang dimaksud. Rombongan Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam sampai ke sana saat waktu afdol untuk sholat dhuha (kira-kira 3 jam perjalanan).

Sampai di depan rumah tersebut beliau Shallallahu `alaihi Wa Sallam mengucapkan salam. Dan keluarlah seorang wanita sambil membalas salam tersebut.

“Benarkah ini rumah Sya’ban RA?” Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam bertanya.

“Ya benar, saya istrinya” jawab wanita tersebut.“

Bolehkah kami menemui Sya’ban RA, yang tadi tidak hadir saat sholat subuh di masjid?”.

Dengan berlinangan air mata istri Sya’ban RA menjawab:
“Beliau telah meninggal tadi pagi”

InnaliLahi wainna ilaihirajiun…Subhanallah , satu-satunya penyebab dia tidak solat subuh berjamaah adalah karena ajal sudah menjemputnya.

Beberapa saat kemudian istri Sya’ban bertanya kepada Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam,

“Ya Rasul ada sesuatu yang jadi tanda tanya bagi kami semua, yaitu menjelang kematiannya dia berteriak tiga kali dengan masing–masing teriakan disertai satu kalimat. Kami semua tidak paham apa maksudnya”.

“Apa saja kalimat yang diucapkannya?” tanya Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam. Di masing–masing teriakannya dia berucap kalimat,

“Aduuuh, kenapa tidak lebih jauh.”
“Aduuuh, kenapa tidak yang baru.“
“Aduuuh, kenapa tidak semua.”

Rasul Shallallahu `alaihi Wa Sallam pun melantukan ayat yang terdapat dalam surat Qaaf (50) ayat 22 yang artinya:

“Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu hijab (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.“

Saat Sya’ban RA dalam keadaan sakratul maut, perjalanan hidupnya ditayangkan ulang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bukan cuma itu, semua ganjaran dari perbuatannya diperlihatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Apa yang dilihat oleh Sya’ban RA (dan orang yang sakratul maut), tidak bisa disaksikan oleh yang lain.
Dalam pandangannya yang tajam itu Sya’ban RA melihat suatu adegan di mana kesehariannya dia pergi pulang ke Masjid untuk sholat berjamaah lima waktu.

Perjalanan sekitar 3 jam jalan kaki sudah tentu bukanlah jarak yang dekat. Dalam tayangan itu pula Sya’ban RA diperlihatkan pahala yang diperolehnya dari langkah–langkah nya ke Masjid.

Dia melihat seperti apa bentuk surga ganjarannya. Saat melihat itu dia berucap:

“Aduuuh, kenapa tidak lebih jauh.”

Timbul penyesalan dalam diri Sya’ban RA, mengapa rumahnya tidak lebih jauh lagi supaya pahala yang didapatkan lebih banyak dan surga yang didapatkan lebih indah.

Dalam penggalan berikutnya Sya’ban RA melihat saai ia akan berangkat sholat berjamaah di musim dingin. Saat ia membuka pintu berhembuslah angin dinginyang menusuk tulang. Dia masuk kembali ke rumahnya dan mengambil satu baju lagi untuk dipakainya. Jadi dia memakai dua buah baju.

Sya’ban RA sengaja memakai pakaian yang bagus (baru) di dalam dan yang jelek (butut) di luar. Pikirnya jika kena debu, sudah tentu yang kena hanyalah baju yang luar, sampai di masjid dia bisa membuka baju luar dan solat dengan baju yang lebih bagus.

Dalam perjalanan ke tengah masjid dia menemukan seseorang yang terbaring kedinginan dalam kondisi yang mengenaskan.
Sya’ban RA pun iba , lalu segera membuka baju yang paling luar dan dipakaikan kepada orang tersebut dan memapahnya untuk bersama–sama ke masjid melakukan sholat berjamaah.

Orang itupun terselamatkan dari mati kedinginan dan bahkan sempat melakukan sholat berjamaah.

Sya’ban RA pun kemudian melihat indahnya sorga yang sebagai balasan memakaikan baju bututnya kepada orang tersebut.
Kemudian dia berteriak lagi :

“Aduuuh, kenapa tidak yang baru.“

Timbul lagi penyesalan di benak Sya’ban RA. Jika dengan baju butut saja bisa mengantarkannya mendapat pahala yang begitu besar, sudah tentu ia akan mendapat yang lebih besar lagi seandainya ia memakaikan baju yang baru.

Berikutnya Sya’ban RA melihat lagi suatu adegan saat dia hendak sarapan dengan roti yang dimakan dengan cara mencelupkan dulu ke segelas susu. Bagi yang pernah ke tanah suci sudah tentu mengetahui sebesar apa ukuran roti arab (sekitar 3 kali ukuran rata-rata roti Indonesia)

Ketika baru saja hendak memulai sarapan, muncullah pengemis di depan pintu yang meminta diberikan sedikit roti karena sudah lebih 3 hari perutnya tidak diisi makanan. Melihat hal tersebut, Sya’ban RA merasa iba.

Ia kemudian membagi dua roti itu sama besar, demikian pula segelas susu itu pun dibagi dua. Kemudian mereka makan bersama–sama roti itu yang sebelumnya dicelupkan susu, dengan porsi yang sama.

Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian memperlihatkan ganjaran dari perbuatan Sya’ban RA dengan surga yang indah.
Ketika melihat itu diapun berteriak lagi:

“Aduuuh, kenapa tidak semua.”

Sya’ban RA kembali menyesal. Seandainya dia memberikan semua roti itu kepada pengemis tersebut tentulah dia akan mendapat sorga yang lebih indah.

Masya Allah, Sya'ban RA bukan menyesali perbuatannya, tapi menyesali mengapa ia tidak optimal dalam beramal. Wallahu a'alam.
Rahimakumullah Sya'ban. []

Senin, 13 Januari 2020

Gotong Royong di Atas Sampan

Piliput : Nasarudin Amin
TERNATE – Pekik suara adzan maghrib pecah di puncak menara Masjid Nurul Bahar, kala itu matahari mulai terbenam ke peraduan, puluhan lampu di Kelurahan Tomalou, Kecamatan Tidore Selatan dinyalakan bergiliran. Saat itu wartawan media ini tengah berada di Dermaga, salah satu dermaga yang dijadikan pusat ivent Festival Kampong Nelayan Tomalou pada 15 - 23 Februari 2020 mendatang.

Orang-orang yang tadinya batobo  (mandi pantai) di dekat dermaga tak lagi terlihat, mereka sudah pulang ke rumah masing-masing. Satu pemandangan yang berbeda dengan Kelurahan lainya. Ketua Pemuda Tomalou, Abdullah Dahlan bercerita, anak-anak di Kampung ini tumbuh dan berkembang di tepi laut.

Anak-anak Tomalou. @foto: Koko Sinay


Gulungan ombak seperti teman bermain, mereka sering menyaksikan orang tua mereka mencari nafkah di laut. Dalam histeriografi Indonesia modern, kalangan nelayan tradisional Tomalou memandang laut sebagai sumber kehidupan. “Di sini, dahulu berjejer puluhan fiber (kapal penangkap ikan), tapi sekarang sudah mulai redup, ada banyak variabel dari luar yang berkontribusi terhadap mundurnya nelayan bukan hanya di Tomalou, tapi nelayan di Tidore pada umumnya,” katanya.

Menurut Abdullah, sebelum krisis moneter melanda bangsa ini. Nelayan Tomalou hidup sejahtera, kebutuhan hidup selalu terpenuhi. Bahkan saat musim panen tiba, bau asin menusuk hidup ditengah cuaca terik. Bahkan saat krisis mencapai puncaknya, era reformasi membuka kran kebebesan.
Tapi itu tak berlaku lama bagi nelayan Tomalou, bagaiamapun juga, krisis telah mereduksi ekspektasi nelayan di kampungnya, mereka memilih beralih profesi, ada yang jadi tukang bangunan, ada juga yang memilih menjadi petani tahunan. Kenyataan itu telah menghantar mereka ke titik sadar.

Rupanya hasil perenungan itu telah membawa Abdullah bersama warga di Kampungnya bermimpi lagi bahwa meski era sudah berubah, namun jiwa sebagai nelayan tetap terpatri dalam jiwa orang-orang Tomalou. Mereka segera merancang sebuah ivent festival kampong nelayan.

Tajuknya patut diancungi jempol, bahkan orang sekelas Rocky Gerung pun harus geleng-geleng kepala dan mengakui kemampuan orang Tomalou mendesain sebuah ivent yang diberi tajuk “Menjaring Kekuatan Di Atas Sampan”. Menurut Rocky, yang dilakukan di Tomalou adalah satu festival. Dalam bahasa Eropa adalah pesta, pertunjukan, pameran, memperlihatkan tanpa ada yang disembunyikan. “Di Desa yang kecil ini memperlihatkan bahwa Jakarta adalah Ibu Kota kekuasaan, tetapi di Tomalou adalah Ibu Kota pikiran,” ucap Rocky dalam dialog singkat di Tomalou belum lama ini.

Rocky Gerung (tengah) didampingi Sofyan Daud (bertopi) dan Abdullah Dahlan, di lokasi Festival Kampung Nelayan Tomalou.


Begitu pun Budayawan yang juga anggota DPRD Maluku Utara, Sofyan Daud yang menjelaskan bahwa Kampung Tomalou sangat identic dengan civil society. Tomalou benar-benar menjadi komunitas yang mandiri, jarang sekali bergantung pada belas kasihan pemerintah. Karena itu masyarakatnya rata-rata kritis.

Sejak masa kesultanan, selain kampung ini memiliki eksistensi sebagai nelayan, juga sebagai pasukan mariner kesultanan. Riwayat penjelajahanya bahkan sampai di pesisir Sulawesi, bahkan jejaknya bisa ditemui sampai di Kalimantan. “Festival ini mudah-mudahan menjadi ikhtiar, menjadi cara basudara (persaudaraan) di Tomalou bisa berbagi, secara kedalam ini menjadi ajang bisa mengkonsolidasi lagi ingatan, tekad, untuk merawat tradisi yang ada, kemudian keluarnya mau berbagi. Di sini sumber penghidupanya benar-benar di laut,” singkatnya.

Karena itu tema “Menjaring Kekuatan di Atas Sampan” menjadi pilihan yang diusung. Abdullah menjelaskan, tema ini memiliki dasar filosofi yang kuat berkaitan dengan Kampung Tomalou dan Laut. “Kata sampan ini saya identikkan dengan perahu, kebetulan Tomalou ini sejak dulu memang punya etos di laut, sehingga kita menggunakan kata Sampan, sampan ini memiliki semanat perubahan, soal bagaimana kita menghidupkan kembali etos yang sudah mulai punah pelan-pelan ini,” jelasnya Ketua KPU Kota Tidore Kepulauan itu.

Selain itu, pria yang ditemu mengenakan kameja hijau tua itu juga mengaku bahwa nelayan dan warga di kampong itu juga aktiv dalam kegiatan konservatif, seperti menjaga peraian di pesisir Tomalou agar tetap bersih, itu dilakukan secara begotong royong. Baginya, ini adalah cara nelayan mempertahankan nilai-nilai yang sudah tertanam sejak dulu.

Hari sudah mulai gelap, wartawan media ini sebelumnya sudah mewawancarai Lurah Tomalou, Ishak Lukman. Saat itu ia bertutur, kegiatan gotong royong di Kelurahan Tomalou sudah hidup ratusan tahun lalu. Mata pencaharian moyang orang-orang di Kampung ini selalu terkait dengan laut. Mereka melakukannya secara bersama-sama secara. “Karakter itu sudah tertanam hingga sekarang. Rasa persaudaraan itu terus dipupuk sampai sekarang,” tuturnya. 
Jadi, walaupun beda pilihan, beda pemikiran, warga di Kampung itu tetap akan bergotong-royong saat komando sudah keluar dari kepala Kampung (kepala kelurahan). Artinya, warga di kampong yang ia pimpin ini memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi. “Ada kerelahan dan keikhlasan untuk bergotong royong untuk kampong. Tradisi itu dari dulu. Biasa komando itu tergantung pimpinan di Kelurahan,” kisahnya.

Ishak berkisah, ketika itu tahun 1970. Kepala Kampung sebelumnya, Ahmad Hasan membangun etos leluhurnya, rasa humanisme yang dibangun menjalar sampai ke akar-akarnya. Sekarang di kelurahan yang ia pimpin itu bahkan sudah memiliki yayasan kesejahteraan yang orientasinya untuk kegiatan-kegiatan sosial.

Contoh kegiatan konservasi secara bergotong royonh yang digalakkan warganya adalah membangun sapti tank secara bergotong royong tanpa membutuhkan bantuan Pemerintah. “Sebelumnya memang saluran pembunagna kotoran manusia dibuang langsung ke laut. Sekitar 42 titik yang tersebar di Kelurahan Tomalou,” ucapnya.

Tetapi sekarang sudah tidak ada. Warga secara sukarela dan bergotong royong membangun sapti tank. Itu supaya kotoran tersebut tidak langsung terbuang ke laut, tetapi ditampung di dalam bak penampungan kotoran. Kata Ishak, dari 42 titik saluran pembuangan itu, 20 titik lebih dibangun semasa Lurah sebelumnya dijabat oleh Abdul Kadir Din, kemudian setelah ia menjabat, seluruh sisa saluran pembuangan tersebut ia selesaikan bersama warga.

Sebelumnya, Ishak juga berkisah, dahulu jumlah fiber milik nelayan di kampung ini berjumlah sekitar 60 unit lebih, paska krisis semua fiber tersebut mulai terdistorsi lalu punah, kini tinggal 15 unit kapal inkamina, kapal jenis fiber yang diberikan dalam program bantuan Menteri Kelauatan dan Perikanan Tangkap. “Kapal-kapal fiber ini sementara beroperasi di daerah Bacan,” jelasnya. 

Jasman Abubakar, tokoh masyarakat Tomalou yang saat itu ditemui di dermaga Tomalou, lingkungan RK 1 mengatakan. Tradisi gotong royong merupakan falsafah hidup orang-orang di kampungnya. Karena itu, tradisi ini harus terus digerakkan mesinya.

“Kesadaran ini harus terus kita pupuk di tengah-tengah masyarakat yang hidup di masa keterbukaan seperti ini, yang terkadang orang lebih individualistic, karena itu kita harus banyak melakukan kegiatan yang melibatkan seluruh masyarakat, dan ini adalah hal yang positif,” ujarnya seraya menambahkan masyarakat di kampungnya sudah memulai hal yang baik. (*)


@NB: Tulisan ini telah diterbitkan di koran Fajar Malut, Edisi Senin 13 Januari 2020.