This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 18 Desember 2017

Kerja Ikhlas

(Buat Rekan Saya Komisioner KPU Kota Tidore Kepulauan)

Suba se Tabea...

Ketika kita hendak mengerjakan sesuatu -- apalagi diserahi amanat -- hal yang utama diperbaiki adalah niat. Niat menjadi kunci sebelum memulai suatu hal, terlebih pekerjaan. Luruskan secara benar dan seikhlasnya niat hanya untuk mencari dan semata-mata mengharapkan Ridha Allah.

Bekerja dengan ikhlas hanya karena Allah adalah bekerja dengan karya terbaik, prestatif dan menjadi teladan kebaikan bagi semuanya. Sebaliknya, bekerja tanpa ikhlas, ia akan terasa berat dan menjadi beban. Namun kalau ia ikhlas, ia pun akan bekerja dengan penuh kecintaan, kesungguhan dan kegairahan. Ada rasa bahagia yang memuncak manakala dapat menuntaskan pekerjaannya itu.

Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah menggambarkannya, bahwa bekerja, beramal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong airnya dengan kerikil pasir. Memberatkannya tetapi tidak bermanfaat.

Menurut Imam Al-Ghazali, puncak keikhlasan dalam bekerja dan beramal adalah manakala tumbuh atas kesadaran yang tulus dan keinsafan yang mendalam, bahwa segala sesuatu yang ada adalah milik Allah dan hanya Dia-lah Tuhan yang Maha Segala-galanya. Sehingga beribadah, beramal, bekerja hanya karena Allah. Maka, jika ikhlas ini sudah menjadi karakter hati, niscaya  akan menjalani kehidupan ini dengan lurus, benar, dan istiqamah (konsisten).

Mari kita pulang menengok tata nilai luhur kita, Moloku Kie Raha -- walkhusus kearifan leluhur Tidore -- yang menjunjung "Toma Loa se Banari" yang bermakna kebenaran dan keadilan, ada juga "Suba se Paksaan" (saling menghormati), "Budi se Bahasa" (menjaga adab dan tata krama), "Syah se Fakati" (musyawarah dan mufakat), "Ngaku se Rasai" (saling mengakui dan menyayangi), dan terlebih tata nilai "Mae se Kolofino" yang berarti malu dan takut berbuat salah. Keseluruhan tata nilai luhur ini menjadi landasan hidup, beraktivitas/bekerja, bertingkah laku, hingga mereka berlisan. Semua nilai itu dilakoni dengan penuh keikhlasan tanpa mengharapkan pujian, jempolan, tepuk tangan, dan seterusnya.

Orang yang ikhlas tentu akan membuat kinerja menjadi bermakna dan tidak sia-sia. Kinerja yang bermakna adalah kinerja yang berangkat dari hati yang ikhlas dan mengikuti aturan yang disyariatkan di dalam Islam maupun ketentuan norma perundang-undangan. Lalu akan memberikan terbaik dalam ibadah, beramal dan bekerja, karena ia berkeyakinan bahwa Allah merupakan tujuan terbaik di atas segalanya.

Bekerja dengan ikhlas itu memang kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan. Namun tidak mustahil dilalui dengan terus belajar ikhlas dan membiasakan diri menjadi orang yang ikhlas.

Dikisahkan ketika seekor burung kecil berusaha memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam. Nyala api yang disiapkan Raja Namrud itu begitu besarnya, sementara sang burung hanya meneteskan air dari paruhnya yang mungil.

Ia bolak-balik mengambil air, kemudian membuangnya ke tengah api. Begitu berulang-ulang. Tentu saja hewan-hewan lain mentertawakannya: “Mana mungkin kau bisa memadamkan api itu?”

Burung kecil itu hanya menjawab: “Aku tahu tidak mungkin memadamkannya. Tapi aku ingin Allah mencatat bahwa aku telah peduli dan berusaha.”
Dan akhirnya api memang tidak bisa membakar Nabi Ibrahim dengan mukjizat dari Allah. Namun usaha burung kecil tetap dicatat sebagai amal kebajikannya.

Allah tidak melihat hasil, tetapi melihat usaha yang kita lakukan sebisa mungkin sesuai kemampuan kita. Sebab bisa jadi pekerjaan besar bahkan super besar, dapat dikerjakan oleh orang yang biasa-biasa saja bahkan di bawah biasa, seperti kita. Namun Allah-lah yang Maha Besar, yang berkenan membesarkan-Nya, karena ada keikhlasan dan kesungguhan kita.

Akhirnya, mari kita tetap menjaga dan merawat nalar, tutur, sikap serta tingkah laku tetap dalam jalur dan khitah kewarasan dalam setiap aktivitas pekerjaan apapun, entah sebagai birokrat, politisi, TNI/Polisi, jaksa, hakim, petani, nelayan, pedagang, jurnalis, buruh, dan lain sebagainya.

Bahwa ikhlas adalah puncak tertinggi ketauhidan, tanam dan tancapkan kedasar sanubari, Ibrahim, Hajar dan Ismail sudah mengajari.
Semoga kita terus-menerus belajar ikhlas tanpa batas.


*) catatan ini saya persembahkan buat rekan-rekan Komisioner KPU Kota Tidore Kepulauan. Terus saja berbuat baik, tak usah peduli orang berterimakasih, mengakui, menghargai atau tidak. Yang penting Allah ridha.

-- Alloed Dahlan
Tomalou - Tidore, 19 Desember 2017

Rabu, 13 Desember 2017

Satu Sore di Landmark Ternate

Kota ini memang terbuat dari rindu. Sejak berpisah beberapa lama. Kita (saya dan dua kawan, DM, DH) bertemu di landmark kota beratap senja. Titik nol Kota Ternate. Kita berbagi cerita, berbagi kisah, sambil bersenda gurau.

Harusnya memang kita saling merendahkan hati. Tentang rindu yang datangnya selalu tanpa permisi. Adakah alasan logis untuk merindu? Atau jangan-jangan ini bagian rekayasa rasa yang tidak mau terus berjauhan?

Senja selalu indah. Langit merah saga selalu menyejukkan setiap pasang mata yang mulai letih selepas bekerja seharian.
Lalu rindu pun terbayar kala mentari senja menutup mata di belahan barat bumi-Nya.

Tak terasa langit pun meredup. Lantunan adzan Magrib menggema di berbagai penjuru kota. Senja dan rindu kembali tersimpan pada tempatnya masing-masing. Dan aku – mendamaikan kenyataan yang ada.

*) Landmark - Ternate,
Selasa 12 Desember 2017

_________________________
Mereka uji coba kamera handphone dan skill: Dahlan Malagapi, Mahmud Hi Ibrahim dan Darmin Hi Hasim
Phonegrafer: DM, MI, DH.







Senin, 28 Agustus 2017

HARUS FOKUS

Cerita ringan pagi ini...

"HARUS FOKUS"

Seperti biasa.. setiap pagi istri dan anak-anak tercinta sibuk. Anak yang pertama dan kedua; Alya dan Ayla (tata) selekas-lekasnya mandi untuk persiapan ke sekolah. Sementara istri sibuk menyiapkan sarapan pagi buat mereka.

Singkatnya... setelah semua beres, tugas istri mengantar Alya dan Tata ke sekolah. Alya harus lebih awal karena menempuh perjalanan jauh di SD Tomalou dengan menumpangi angkutan umum. Sedangkan sekolahnya Tata, SD Muhammadiyah, tak jauh berjarak kurang 200 meter dari rumah.

Nah, tinggallah si bungsu Abu Dzar Al-Ghiffari yang masih TK. Saya diberi tanggungjawab untuk memandikan sekaligus membereskan anak Lelaki yang hobi 'berkicau' ini. Hehe..
Saat mandi, gosok gigi, menyabuni, Aby sapaan akrabnya, tak pernah berhenti "bersiul" bak nyanyian burung di pagi hari. Mulutnya tak berhenti bergumam.

Sampailah pada satu momen, di mana pada saat saya memakai pakaian seragam TK Bhayangkara-nya. Memang, semua perlengkapan sekolah anak-anak, sudah disiapkan oleh mereka sejak malam sebelum tidur. Mulai dari pakaian/seragam, tas, buku, kaos kaki hingga sepatu. Ibu mereka kerap menerapkan disiplin ketat. Mungkin turunan dari bapaknya (alm.) purnawirawan Brimob.

"Ayah ini hari apa?" tanya Aby tiba-tiba. "Rabu, nak," jawab saya sekenanya. Padahal salah, mestinya hari ini Selasa. Saya khilaf.
"Ayah sayang... kalau Rabu, berarti Aby harus pakai seragam politi (maksudnya; polisi), bukan seragam ini," protes Aby. Saya jadi bengong, bingung sendiri. Makhlum, meski baru masuk TK, Aby sudah menguasai 6 pasang seragam yang diberikan sekolahnya yang dipakai sesuai hari.
"Oh iya salah... ini hari Selasa," saya mencoba mengklarifikasi setelah sadar pulang, ingatan pulih. Hehe..
Tahulah sendiri Aby. Dia masih tak terima. "Berarti ayah boon (maksudnya; Bohong)," protes anak ini dengan lugas. Saya terperanjat. Terpojok.
Akhirnya... "Maafkan ayah, Aby. Ayah tak bermaksud bohong. Ayah hanya lupa, nak," saya berusaha meluruskan dengan merendah. "Ayah harus fokus," tandas Aby. Nah, kalimat inilah yang membuat saya kewalahan. Saya seperti terpojok, ibarat tinju, saya mendapat pukulan jep yang sangat telak. Hehe..
Tanpa ba bi bu lagi...dalam pikiran saya cepat-cepat membereskan anak ini.

Demikian kisah ringan pagi ini. Saya ambil hikmah saja. Seiring dengan pertumbuhan, Anak itu mulai kritis (yang positif).
Apa hikmah lain yang bisa anda petik?


Mari Berbagi Cerita.
--------------------------------
Doa:
Semoga Allah merahmati, mencintai, mengasihani, menyayangi, merahimi; melimpahi, memberkati, menganugerahi, merestui dan memberkahimu nak, agar menjadi anak yang bertaqwa. Aamiin YRA

*)Tidore, Selasa 29 Agustus 2017


        Foto: Bersama Abu Dzar Al-Ghiffari.

Rabu, 31 Mei 2017

Warkatul Ikhlas "NUKU World Festival" Garda Nuku

Suba se Tabea..

Moloku Kie Raha atau Maluku Utara jelas bukan sekadar lembaran buku sejarah. Penting bagi kita -- generasi muda -- dewasa ini untuk memposisikan diri dan bertanya apa yang harus kita lakukan buat Jazirah al-Mulk ini?
Kita telah berbuat apa yang terbaik sebagaimana kearifan sosok- sosok pendahulu?

Daripada tidak sama sekali, inilah sedikit ide atau gagasan dari Generasi Muda Nuku atau GARDA NUKU untuk mempersembahkan buat Moloku Kie Raha, dengan memberi nama; NUKU World Festival.

Untuk lebih detail, inilah warkatul ikhlas "NUKU World Festival".
Bahwa dalam tahun 2016 ini, GARDA NUKU menggagas satu event penting dan strategis buat daerah, buat Indonesia yang dikemas dengan nama "NUKU World Festival".

Sedikitnya ada 9 agenda. Namun satu agenda yang dianggap sangat penting dan strategis dalam "NUKU World Festival" ini adalah TRAKTAT KIE RAHA. Rapat Garda Nuku pada Jumat sore itu sempat alot mendiskusikan kata "traktat", agar perlu dicari pedanan kata yang lain sepadan. Ada kata "konvensi", "agreement", "deklarasi", "piagam atau charter", dan lain sebagainya.

Kenapa traktat penting? Pada momen ini, Garda Nuku mendesain satu peristiwa penting bagi empat Kesultanan di Moloku Kie Raha (Tidore, Ternate, Jailolo dan Bacan) beserta para pemimpin formal mulai dari Gubernur hingga Bupati/Walikota di wilayah Malut untuk dapat merumuskan bersama masa depan Moloku Kie Raha. Pelibatan juga dari daerah-daerah yang secara historis dan cultural menjadi bagian dari Moloku masa lalu, seperti Raja Ampat, Seram Timur serta Papua dan Papua Barat.
Mereka bikin konsensus serta tekad dalam bentuk poin-poin penting dan strategis baik di tingkat lokal, antara regional dan bahkan demi Indonesia yang besar. Konsensus ini akan dituangkan dalam satu prasasti bersejarah, bahwa mereka telah membuat konsensus yang besar demi masa depan yang gilang gemilang. Setidaknya inilah tekad Garda Nuku sebagai wujud meneruskan spirit Nuku.

Selain traktat, acara puncak dari event NUKU World Festival ini adalah jatuh pada 14 November 2016 (malam), adalah peringatan atas wafatnya Sultan Nuku yang ke-211 tahun atau 'Haul Sultan Nuku. Kegiatan ini dikemas dalam bentuk ratib rabana atau Taji Besi Akbar yang berpusat di Dhuafa Center Ternate.

Untuk menyempurnakan gagasan NUKU World Festival ini Garda Nuku menggelar Focus Group Discussion (FGD) sebanyak dua kali dengan pihak kampus, akademisi, sejarawan, budayan serta civil society untuk bersama-sama merumuskan poin-poin penting Persekutuan Historis Moloku Kieraha. Selanjutnya, membumikan gagasan besar ini dengan mengadakan media gathering oleh semua media massa maupun bloggers.

Harapannya, gagasan NUKU World Festival ini menjadi nilai tambah bagi masa depan daerah dan Indonesia yang kita banggakan.

Akhirnya, kami mengutip 1 buah puisi yang ditulis legislator senayan dari Maluku Utara, bang Syaiful Bahri Ruray; ‘Surat Kepada Kaicili Paparangan’.

Beta Kaicili Paparangan
Menjadi daulat Jou Barakati…
Kuasa Papua hingga Seram…
Dan hamparan Pasifik nun jauh…
Dan,
Kitabullah beta junjung tinggi,

Beta tau…
Dua puluh tiga tahun beta mandi keringat
Dan darah para bala…
Diantara canga dan kora-kora
Yang melintasi riak gelombang
Surat yang beta tuliskan
Adalah goresan masnawi hati
Catatan gelisah karena
Angkara nan murka
Yang memporak-porandakan saudara-saudara beta
Di sepanjang Batuchina de Moro hingga Celebes…

Beta, kuasa Hale mayora
Karena beta jua, Nusantara berdiri..
Beta El Mabus Amiruddin…
Karena beta jua, Nusantara tetap ada…

(Puisi bang Ipul)

***

Lalu goresan dari kami, Garda Nuku:

Negeriku...
bak kertas putih nan bersih
namun kini  . . .
nampaknya kertas itu telah usang
karena kau biarkan  begiu saja
sedikitpun kau tak menyentuhnya 'tuk sekedar mengukir prestasi
barang sacuil  . . .

negeriku sayang . . .
negeriku malang
kini kau telah usang . . .

namun tak apa
kau tetap negeri tercinta
tanah kelahiranku
tenanglah . . .
biar kami bantu bersihkan
akan kami kumpulkan kekuatan
tuk meniup debu - debu di atasnya
akan kami carikan segera tinta biru
agar jazirah ini
bangsa ini
mendapatkan tempat
bagai goresan baru...


Demikianlah hidup laksana gerak air di sungai, mengalami pergerakan kearah perubahan. Bahkan, dalam hidup ini tidak ada yang abadi, kecuali perubahan.
Persembahan kami GARDA NUKU untuk negeri tercinta... Moloku Kie Raha, untuk Indonesia.

Akhir kata, semoga kita sekalian berharap Jou Taala memberi ampun atas ketidakmampuan kita yang generasi sekarang memberikan yang terbaik. Semoga ‘barakati’ tak hanya berbatas pada Nuku El Mabus Amiruddin saja.
Baarakallah...

Salam Spirit Nuku!


~ Oktober-November 2016
Alloed Dahlan



Keterangan Foto:
1. Media Gathering dengan semua media massa dan bloggers.
2. Pembacaan dan penandatanganan hasil konsensus persekutuan Moloku Kieraha oleh empat kesultanan dan para kepala daerah.

KOFEA GARDA NUKU : Tanpa Nuku Adakah Indonesia?

Minggu, 7 Agustus 2016, bertempat di halaman eks Kantor Gubernur Provinsi Maluku Utara, di Jl. Pahlawan Revolusi, Ternate, salah satu elemen civil society, GARDA NUKU, menggelar diskusi dengan diberi nama KOFEA ( Konfederasi Idea ), dengan menetapkan tema "Tanpa Nuku Adakah Indonesia?". Tema yang sedikit menggelitik ini dikupas oleh 4 narasumber, yakni SULTAN TIDORE H. Husain Syah, DR. Syaiful Ruray (Anggota DPR RI), DR Syahril Muhammad (Akademisi/Sejarawan), calon Doktor UGM Darsis Humah (Akademisi IAIN Ternate/Pemerhati), dan dipandu oleh M. Sofyan Daud (Penyair/Sastrawan/Budayawan dan Pembina GARDA NUKU), dihadiri oleh sejumlah tokoh intelektual, budayawan, sejarawan, kalangan jurnalis, organisasi lintas kultural, elemen kepemudaan dan kemahasiswaan, yang dimulai pukul 21.30 hingga berakhir 01.00 Wit, tidak ada yang meninggal lokasi diskusi.

Dari berbagai gagasan dalam diskusi KOFEA GARDA NUKU malam itu, saya barangkali merangkul beberapa poin penting bertalian dengan: Nasionalisme dan spirit perjuangan Sultan Nuku Jou Barakati; kebangkitan Maluku Kieraha; hingga masa depan Indonesia.
Berikut adalah poin-poin penting yang dapat saya rangkum :

1) Sultan Saidul Jehad el Ma’bus Muhammad Amiruddin Syah Kaicil Paparangan Jou Barakati, alias Sultan Nuku. Dillahirkan di Tidore, 1738, tak diketahui tanggal dan bulannya. Dinobatkan sebagai Sultan 13 April 1879. Sultan Nuku wafat dengan damai 4 November 1805 di Soasio, Tidore. Melalui SK Presiden RI No. 71/TK/Tahun 1995, tanggal 7 Agustus 1995, Sultan Nuku dianugerahi Bintang Mahaputra Adi Pradana dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

2) Sultan Nuku adalah sultan terbesar Kerjaan Tidore. Seorang cerdas dan bijaksana, diplomat dan negosiator ulung, memiliki visi dan strategi jitu. Pihak Inggris menyebut Nuku "The Lord of Furtune" (sang raja keberuntungan), sebaliknya pihak Belanda menyebut Nuku sebagai "Prins Rebel" (pangeran pemberontak). Pemikiran dan pendekatan politik Sultan Nuku dalam banyak segi terinspirasi oleh Sultan Tidore besar lainnya yakni Sultan Syaifuddin alias Jou Kota. Sultan yang membawa Tidore berkembang menjadi kesultanan modern dalam aspek pemerintahan, hukum, sosial budaya, ekonomi dan tataniaga.

3) Gerakan perjuangan NUKU dipandang sebagai suatu proto-nasionalisme, yakni suatu bentuk nasionalisme awal. Belajar dari nilai dan substansi perjuangannya, bisa dikatakan NUKU merintis kesadaran kebangsaan. Dimana Protonasionalisme (nasionalisme yang mula-mula, cikal bakal) dalam konteks keindonesian, tetapi nasionalisme sesungguhnya, sejadi bagi sejarah bangsa Tidore. Tentu Tidore dalam arti negara bangsa pada masa itu. Yang kini sengaja atau tidak, sadar atau tidak, telah terciutkan, diciutkan, atau menciutkan diri sekadar sebuah pulau. Bukan lagi sebagai sebuah entitas budaya dan peradaban adiluhung dari Tidore, Gamrange (Weda, Patani, Maba), Seram, Wetubula, Tor, Rajaampat dan Papua daratan sampai Midanao, kepuluan marshal, dan Salomon. Inilah salah satu issu penting bagi GARDA NUKU sebagai penyadaran untuk mengembalikan kesadaran dan kepeduliaan kolektif terhadapnya. Tanpa itu maka yang membedakan Tidore dengan Ternate, Maitara, Failonga, Mare, Hiri, Dodola, dsb, hanyalah status admistratif, demografis, topografis dan segala teknis belaka bukan substansi nilai, identitas.

4) Masih terkait spirit perjuangan Nuku yang memiliki beberapa konsep politik yang ingin diwujudkannya. Konsep politik Sultan Nuku yang pertama adalah Mempersatukan seluruh wilayah Kesultanan Tidore sebagai suatu kedaulatan yang utuh. Kedua adalah memulihkan kembali 4 pilar kekuasaan Kerajaan Maluku. Ketiga, mengupayakan sebuah persekutuan antara ke-4 Kerajaan Maluku. Kelima mengenyahkan kekuasaan dan penjajahan asing dari Maluku, dan terakhir menjaga dan memanfaatkan Sumber Daya Alam di Maluku.

5) Dalam sejarah perjuangannya, sultan dikenal paling gigih dan sukses melawan Belanda (masa periode 1738-1805 M). Selama bertahun-tahun, Nuku berjuang untuk mengusir Belanda dari seluruh kepulauan Maluku, termasuk Ternate, Bacan dan Jailolo. Perjuangan tersebut membuahkan hasil dengan menyerahnya Belanda pada Sultan Nuku pada 21 Juni 1801 M. Dengan itu, Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo kembali merdeka dari kekuasaan asing. Sekali lagi Nuku tak sekadar berjuang dlm perspektif Tidore, tapi negara bangsa zaman itu. Indonesia : “Semua karena Nuku”. Ya...Sikap konsisten yang anti terhadap kolonial Belanda tersebut membuat pemerintah Republik Indonesia memberi gelar pahlawan nasional kepada Sultan ke-30, yakni Sultan Syaedul Jehad Amiruddin Syaifuddin Syah Muhammad El Mab’us Kaicil Paparangan Jou Barakati alias Nuku, yang memerintah 1797-1805 Masehi pula terkenal mengalahkan Belanda secara telak hingga Belanda harus mengakui wilayah Nuku pada Perjanjian Stadbland 24 Juni 1824 . Bagi Soekarno, tanpa ada pengakuan ini, mungkin sekarang Tidore bukanlah Indonesia (Dikutip dari buku karangan Irham Rosyidi, S.H., M.H. dengan judul “Eksplorasi Nilai, Asas, dan Konsep dalam Dinamika Ketatanegaraan Kesultanan Tidore”. Halaman 177-179).

6) A. Malik Ibrahim (Pembina Garda Nuku) menulis bahwa; "Kita adalah bangsa dengan sejarah yang berwarna-warni". Sejarah NUKU adalah heroisme universal___yang wilayah pengaruhnya tak sebatas pulau titik Tidore, tapi meluas menembus batas spasial, etnik dan budaya. Historiografi sejarah Indonesia modern telah mengulas bahwa NUKU dengan kedigyayaan adalah Sultan pemersatu dan bukan boneka kolonial. NUKU jou barakati adalah altar peradaban, bukan imperium perbudakan.

7) Bicara Nasionalisme? Indonesia tidak perlu ragu kepada Nuku. Ia adalah perintis proto-nasionslisme. Seperti dalam diskusi malam itu, The King of Tidore H. Husain Syah menegaskan; "Saya sebagai seorang generasi pewaris Nuku, dalam konteks ideologi perjuangan; bagaimana Nuku mewariskan spirit dan semangat api perjuangan kepada kami. Pantaskah diragukan eksistensi saya sebagai seorang pewaris Nuku dalam konstelasi politik internasional, nasional dan lokal. Saya tetap eksis di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan itu gratis. Saya loyal kepada bangsa ini, saya eksis kepada bangsa ini, tidak untuk mendapat upah...”

8) Bahwa kehidupan sosial Maluku Utara demikian kaya akan persentuhan dengan dunia luar sejak awal sejarah peradabannya. Untuk itulah, adalah aneh jika realitas kontemporer Maluku Utara malah surut kebelakang menjadi masyarakat tertutup atau bahkan xenophobia meminjam istilah bang Syaiful Ruray. Proses akulturasi peradaban telah berlangsung demikian intens, sehingga bahasa Tidore dan Ternate dapat dikategorikan sebagai lingua franca karena juga ditemukan berbagai kata Spanyol dan Portugis, selain Cina dan Belanda.

9) Begitu juga dalam perspektif realitas Politik dan Hukum. Kesultanan Moloku Kieraha dapat dikategorikan sebagai negara demokrasi dengan sistem monarki konstitusional. Tradisi berdemokrasi yang halus dan berbudi pekerti ini seharusnya diajarkan oleh dunia pendidikan kita sebagai kurikulum lokal untuk menjadi kearifan lokal. Kesultanan Moloku Kieraha dengan demikian dapat dikategorikan sebagai negara demokrasi dengan sistem monarki konstitusional. Halmana penting bagi Indonesia di era reformasi sekarang yang masih mencari format yang tepat untuk berdemokrasi secara lebih etis dan tidak terperangkap pada jebakan anarkisme politik yang destruktif.
Konsensus politik tertinggi di Maluku Utara juga sudah dikenal dengan berlangsungnya Moti Agreement (Moti Staten Verbond) pada 1322, dimana Sultan Sidang Arif Malamo (1322-1331) memprakarsai terbentuknya Konfederasi Moti yang menyatukan empat kesultanan (Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan) dalam sebuah konfederasi yang dikenal dengan Moloku Kieraha.

10) Point penting lain yang ditemukan dalam diskusi KOFEA Garda Nuku malam itu adalah, strategi perang laut yang dirintis Nuku. Jou Barakati terkenal dengan gerilya lautnya selama 22 tahun lebih melawan Belanda. Sebuah pertempuran yang sangat hebat dan berlangsung lama melebihi perang Napoleon di gelanggang Eropa.

11) Nuku adalah tokoh pejuang universal yang mengokohkan kedaulatan kerajaan-kerajaan Moloku oleh aneksasi imprelisme Belanda. Benar Tidore mencapai puncak keemasannya pasa era Sultan Nuku. Kaicili Nuku terkenal dengan gerilya lautnya selama 22 tahun lebih melawan VOC Belanda. Sebuah pertempuran yang sangat hebat dan berlangsung lama melebihi perang Napoleon di gelanggang Eropa. Nuku juga kemudian berupaya keras merekonstruksi Kerajaan Jailolo dengan mengangkat Muhamad Arif Billa, Sangaji Tahane, yang menjadi pengikut setianya dalam perang dan sempat mencapai posisi sebagai Jogugu Tidore. Namun rekonstruksi itu terus gagal karena ditentang oleh Belanda. Nuku bekerja sama dengan Inggris dan membuat pakta saling menghormati kedaulatan masing-masing.
Yang menarik secara sosial pada periodisasi Nuku ini adalah terjadinya cross cultural movement yang demikian hebat di Maluku Utara, dimana gerakan Nuku ini telah memobilisasi dan menyatukan Gam-Range yang multi etnis, agama bahkan suku Alifuru di Seram hingga Papua, sebagaimana yang disebut Muridan Satrio Wijoyo.
Dengan demikian heterogenitas sosial pada dasarnya telah terjalin demikian erat pada periode Nuku ini.
(Karena nilai dan spirit perjuangan Nuku dgn menghimpun kekuatan multi-etnis itulah ketika saya dipilih menjadi Ketua Umum GARDA NUKU dan kawan Budi Janglaha sebagai Sekertaris Umum GN, kita mencoba menghimpun kawan-kawan Gamrange (Maba-Patani-Weda), Makian-Kayoa, Jailolo, Tobelo-Galela, suku lainnya, masuk kedalam struktur kelembagaan, sekaligus sebagai upaya mengkonsolidasi kaum muda untuk sama-sama memikirkan nasib negeri Moloku Kie Raha ini dalam kanca nasional hingga dalam kepentingan arus globalisasi yang kian deras).



~ 7 Agustus 2016
Alloed Dahlan

Foto: Para narasumber dalam Kofea Garda Nuku

Sekilas GARDA NUKU Periode Kedua

Suba se Tabea..

Kebersamaan tak selalu berbentuk fisik tapi juga perlu kebersamaan maknawi. Artinya, walaupun secara jasmani kita barangkali tak slalu bersama (berpisah), namun rasa kebersamaan dalam jiwa selalu ada dengan selalu menjaga komunikasi sosial yang intensif dan harmonis.

Kebersamaan tidak menafikan/menghilangkan perbedaan, karena perbedaan merupakan fitrah sekaligus penentu bagi kedinamisan, kreatifitas dan keharmonisan manusia.

Filosofi “kebersamaan” mengacu pada “keterbatasan”. Karena manusia mahluk yang terbatas, maka untuk mengatasi keterbatasan harus dilakukan usaha bersama. Dari sisi ini kita mengetahui betapa pentingnya kebersamaan.

***

Alhamdulillah... atas izin Allah serta spirit 'kebersamaan', Generasi Muda Nuku (GARDA NUKU) kembali eksistensinya.
Itu setelah pada 23 Ramadhan 1437 Hijriyah atau bertepatan dengan 28 Juni 2016 Masehi (Selasa malam kemarin), di buku sandar Tobona, kepengurusan Garda Nuku berganti.

Melalui musyawarah Dewan Syuro yang terdiri dari Ketua Ikatan Keluarga Tidore (IKT) Provinsi Maluku Utara yang juga Walikota Ternate Burhan Abdurrahman, Jo Ou Sultan Tidore Husain Sjah, tokoh sesepuh GN; A. Malik Ibrahim, M. Sofyan Daud, Samin Marsaoly, Dahlan Malagapy, serta mantan ketua Nuryadin Rahman (periode pertama 2005), memutuskan memberikan amanah kepada saya sebagai Ketua Umum Garda Nuku dan saudara Budi Janglaha sebagai sekretaris umum. Organisasi yang sedari awal menjadi konseptor sekaligus motor penggerak IKT dalam melakukan program sosial andalannya "Barifola" atau bedah rumah. Kiprah Garda Nuku yang sejak berdiri November 2005 hingga kini berkontribusi terhadap ide/gagasan serta kerja-kerja sosial dan kebudayaan.

Akhirnya, Garda Nuku seperti "Rumah". Rumah ide, rumah kedamaian, rumah penjaga kultur, rumah yang menjunjung nilai luhur, rumah yang nyaman dan ramah dalam relasi sosial, bahkan rumah gerakan dalam mengkonsolidasi gagasan-gagasan perubahan bagi Moloku Kie Raha dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dan, rumah ini tak akan menjadi sebuah sangkar, melainkan tiang utama kapal layar.

Semoga kedepannya Garda Nuku dapat menjalani kerja-kerja sosial-kebudayaan dengan ikhlas, totalitas dan semangat juang, sebagaimana spirit Nuku. Sebab, di sana kita punya kepentingan bersama. Kepentingan untuk mengabdi kepada sesama. Mari bersama lakukan yang terbaik buat masyarakat, daerah dan negara tercinta ini.

Salam Nuku !!!


~Juli 2016
Alloed Dahlan

Sabtu, 15 April 2017

Merindu Bloggers Tidore Untuk Indonesia

Kawanku... senja mulai luruh di punggung Maitara. Mari bersulang peluk. Sebab dahaga kita adalah kerinduan, yang tak mampu dihilangkan dengan kata-kata.

Percayalah kawan, kelak akan ada jawaban bagi doa-doa yang telah kita wiridkan di bukit Moya malam itu, seperti camar yang bahagia pulang kala senja memanggil.

Kami (Garda Nuku) mencintai kalian seperti senja, dengan keindahannya tanpa durasinya.

***
Kerinduan kami yang tebal ini buat teman-teman bloggers #TidoreUntukIndonesia dan #NgofaTidore.
Selamat jalan kawan... doa kami haturkan; tiba di tanah asal masing-masing dengan sehat wal'afiat, selamat dan sentosa.
Salam rindu !


Alloed Dahlan
Kamis, 15 April 2017
____________
#GardaNuku
#GarasiGenta
#JanglahaPrinting
_____
⬛Lokasi: Pelabuhan Rum, Tidore, dengan latar senja di apit Gunung Maitara dan Ternate.
⬛Phonegrafer: alloed dahlan


Jumat, 17 Maret 2017

Hati-Hati Menuliskan Wallahu A'lam

Bissmillahi..
Salam takjim saudara2ku... bagi yang sering menulis apa saja kerap mengakhiri tulisannya dengan kalimat Wallahu a’lam (artinya: “Dan Allah lebih Tahu atau Yang Maha Tahu/Maha Mengetahui).

Sering ditambah dengan bish-shwabi. menjadi Wallahu a’lam bish-shawabi yang artinya “Dan Allah Mahatahu yang benar/yang sebenarnya”. Shawabi = benar/kebenaran.

Hal itu untuk menunjukkan, Allah Swt-lah yang maha tahu atau lebih tahu segala sesuatu dari kita. Hanya Allah yang Maha Benar dan Pemilik Kebenaran mutlak. Kebenaran yang kita tuliskan itu relatif, nisbi, karena kita manusia tempat salah dan lupa.

Namun coba perhatikan, banyak yang keliru dalam penulisannya, yaitu dalam penempatan koma di atas (‘).

--- Catatan: sebutan “koma di atas” untuk tanda baca demikian sebenarnya tidak tepat, tapi disebut “tanda petik tunggal” juga tidak tepat karena petik tunggal itu begini ‘…’ dan bukan pula “apostrof” (tanda penyingkat untuk menjukkan penghilangan bagian kata) karena dalam kata itu tidak ada kata yang dihilangkan/disingkat. Kita sepakati saja, namanya “koma di atas” ---.

Penulisan yang benar, jika yang dimaksud; “Dan Allah Maha Tahu” adalah Wallahu a’lam (tanda koma di atas [‘] setelah huruf “a” (alif) atau sebelum huruf “l” (lam). Tapi sangat sering kita jumpai penulisannya begini: Wallahu ‘alam (koma di atas [‘] sebelum huruf “a”).

Jelas, Wallahu a’lam dan Wallahu ‘alam berbeda makna:

1. Wallahu a’lam artinya “Dan Allah Mahatahu/Maha Mengetahui atau Lebih Tahu”.

2. Wallahu ‘alam artinya “Dan Allah itu alam”, bahkan tidak jelas apa arti ‘alam di situ? Kalau ‘alamin atau ‘aalamin, jelas artinya alam, seperti dalam bacaan hamdalah –alhamdulillahi rabbil ‘alamin.

Jadi, kalau yang kita maksud itu “Dan Allah Maha Tahu/Lebih Tahu”, maka penulisan yang benar adalah Wallahu a’lam, bukan Wallahu ‘alam.

Mari kita bedah. Eh, tunggu dulu… Saya bukan ahli bahasa Arab, cuma tahu sedikit dari hasil bacaan. Yang jago bahasa Arab, mohon koreksinya ya…
A’lam itu asal katanya ‘alima artinya tahu. Dari kata dasar ‘alima itu kemudian terbentuk kata ‘ilman (Isim Mashdar, artinya ilmu/pengetahuan), ‘alimun (fa’il/pelaku, yakni orang yang berilmu), ma’lumun (pemberitahuan, maklumat), dan sebagainya, termasuk a’lamu/a’lam (lebih tahu). (Bandingkan, misalnya, dengan kata fadhala [utama] – afdhalu [lebih utama]; karama [mulia] – akrama [lebih mulia]; hasan [baik] – ahsan [lebih baik]).

Tanda petik tunggal atau koma di atas (‘) dalam a’lam itu transliterasi bahasa Indonesia untuk huruf ‘ain dalam bahasa Arab (seperti Jum’ah, Ka’bah, Bid’ah, Ma’ruf, dan sebagainya). Kata a’lam artinya “lebih tahu”. Jadi, kian jelas ‘kan, penulisan yang benar: Wallahu a’lam, bukan Wallahu ‘alam.

Tentu, kesalahan penulisan itu tidak disengaja, salah kaprah saja alias kesalahan yang sering dilakukan, secara sadar atau tidak sadar, merasa benar –padahal salah—karena tidak ada yang mengoreksi. Saya yakin, maksudnya Wallahu a’lam, “Dan Allah Maha Tahu”.

Wasalam. Wallahu a’lam bish-shawabi.

Barakallah... semoga bermanfaat. (GN-01)
*) Disarikan dari berbagai sumber.


_________________
JUM'AT -- Penghulu segala hari.
Alloed Dahlan / GN-01
Goto - Tidore, 17 Maret 2017

                      Alloed Dahlan

Minggu, 12 Maret 2017

Memoar Jalan Revolusi (2)

Safia Marsaoly, disapa Sofia, HMI-wati yang supel dan enerjik. Dia satu-satunya perempuan yang berani menjadi relawan Aksi Mogok Makan dalam perjuangan pembentukan provinsi Maluku Utara, antara Februari atau Maret 1999.

Persiapan intens lebih sebulan. Edaran meminta partisipasi relawan jauh-jauh hari telah disampaikan kepada pimpinan OKP dan BEM di Kota Ternate, tetapi sampai H-2 tak ada satupun yang mendaftar.

Evaluasi pada H-1 diputuskan perlu menggunakan wibawa atau otoritas, dan saya dipercayakan menjadi eksekutor menunjuk pasukan terpilih juga terhandal sebagai relawan.

Hari itu juga saya meminta kawan-kawan mengumpulkan 10 orang yang nama-namanya sudah saya list. Malamnya, ba'da Isya saya briefing dengan mereka. Semua siap dan mestinya menyiapkan diri untuk aksi Mogok Makan yang batas waktunya belum ditentukan.

Besok paginya aksi mogok makan diawali dengan orasi, pembacaan pernyataan sikap, tuntutan dan ultimatum para relawan aksi mogok makan.
Di penghujung aksi, sekitar pukul 10 pagi, hujan deras mengguyur Ternate. Massa aksi berangsunr bubar, termasuk para senior, koordinator dan penggerak aksi. Tersisa saya menemani para relawan mogok makan.

Hujan deras seharian, kami tak geming, tetap duduk di trotoar persis di depan papan nama Kantor Bupati Maluku (eks kantor gubernur). Tak ada tenda atau terpal untuk bernaung. Anak-anak yang kedinginan mesti berbaring di atas aspal. Ada pula yang mencebur ke laut menghangatkan tubuhnya. Kami yang merokok mesti membeli kantong keresek besar, menudungi kepala sampai leher dan merokok.

Bada Dzuhur saya mengutus kawan-kawan menemui Sekretaris Darrah, meminta bantuan tenda atau terpal 6x4 supaya anak-anak bisa bernaung. Tapi tenda atau terpal yang dikanjikan tak kunjung ada.

Hujan mereda saat corong-corong masjid mulai mengaji. Tenda biru 4x3 meter dan tali rafiah sekepalan tangan baru diantar beberapa PNS, dan kami memasangnya persis di depan papan nama kantor itu.

Setengah jam kemudian, kawan-kawan lain bermunculan, Zainuddin Abdullah, Caken, Anwar Ways (alm), Hasyim Abdulkarim, Djufri Yakuba dan beberapa lainnya. Kami breifing sebentar, bagi tugas mencari tenda, terpal, tikar, dsb.

Dua unit tenda 4x4 dari Tukimin tiba di lokasi ba"da Maghrib dan langsung diset. Caken dan tim kecilnya dengan pickup cary menurunkan satu ball tikar plastik dan beberapa terpal. Terpal digelar paling bawah, lalu tikar dua-tiga lapis menjadi alas sekaligus tempat tidur para relawan. Beberapa lembar tikar disambungkan dan dililit mengelilingi tenda, menghalau angin dan hujan yang tempias.
Hari ke-2 aksi, kondisi beberapa relawan menurun. Beberapa dokter dari RSUD Chasan Boesoirie, IDI dan beberapa konsorsium dokter swasta, mulai membuka tenda, ikut nengawasi intensif kondisi relawan aksi.

Para dokter memberi pertimbangan medis agar beberapa relawan mesti diinfus, sebab lebih dari 48 jam mereka tidak makan apapun. Dokter lain menyarankan sebaiknya relawan yang mulai drop dibawa ke Rumah Sakit. Tetapi para relawan menolak. "Andai mesti diinfus, infus saja di sini," kata Sofia dan kawan-kawan.

Sejam dua jam kemudian tiga botol infus dengan slangnyan berjuntaian di bawah tenda berpenerangan minim. Tapi lagu-lagu kritis Iwan Fals tak henti terdengar dari sound sistem NJS (Narjan Jembatan Satu) yang dipinjamkan, gratis.
Sofia, Nyong Alkatiri, menyusul Irwanto Maneke diinfus. Sungguh tak ada yang bisa mengalahkan semangat dan tekad mereka.

Ah, memoar singkat ini saya tulis dengan bangga dan haru yang teramat. Di antara para relawan itu, ada sedang menjalani Ujian Semester. Satu jam sebelum jadwal mereka di antar ke kampus untuk ujian, setelahnya kembali lagi ke lokasi aksi.
Sofia,dia tumbuh dalam lingkungan aktifisme-kreatif Komunitas Seni Hitam Putih, Himpunan Mahasiswa Halmahera Tengah dan  Himpunan Pelajar Mahasiswa Nuku (Hipmin), binaan saya. Dia beberapa kali main teater yang saya tulis dan sutradarai, ikut vocal group bersama Unang dan kawan-kawan pada pergelaran seni yang kami  helat di Tidore.

Kini Sofia, seperti foto profilnya yang diupload di sini, mengenakan cadar, sehingga tak mudah dikenali. Sehari-harinya dia berprofesi sebagai guru di Kota Tidore Kepulauan.
(garasigenta_memoarjalanrevolusi)


Ditulis M.Sofyan Daud
Minggu 12 Maret 2017 di medsos FB.

                          Safia Marsaoly

Memoar Jalan Revolusi (1)

Minggu, 12 Februari, seusai blogger gathering dan launching lomba menulis blog "Tidore untuk Indonesia" di Fola Barakati, Cibubur, saya sengaja mengajak Unang Bahrudin alias Oenank Toadore foto bersama.

Selain saudara dan kawan dekatnya, tak banyak yang tahu, apalagi gubernur dan sebagian besar elit birokrat provinsi Maluku Utara tentu lebih tak tahu lagi, bahwa laki-laki satu ini, bersama belasan kawan, antara lain; Safia Marsaoli, Idrus Maneke, Abdul Kadir Din, Ibnu Khaldun Yahya, Nyong Alkatiri, Irwanto Maneke, Hizbullah Hasan (alm), Ibrahim Abdurahim (alm), Asnawi (alm), mereka yang berani ambil resiko menjadi relawan Aksi Mogok Makan awal 1999.

Aksi itu bagaian dari serangkaian aksi Apel Akbar masyarakat Maluku Utara menuntut percepatan pemekaran atau pembentukan Provinsi Maluku Utara.

Tujuannya mendesak agar rancangan UU  pembentukan provinsi Maluku Utara harus diajukan ke DPR RI dan dibahas sebelum Pemilu dan Sidang Umum MPR 1999. Tak boleh setelah Pemilu, sebab dikuatirkan Pemilu multipartai pertama di era reformasi itu bisa saja mengakibatkan perubahan konstelasi politik nasional yang kontraproduktif. ~(garasigenta_memoar).


Ditulis M.Sofyan Daud
Minggu 12 Maret 2017 di medsos FB

M.Sofyan Daud dan Unang Bahrudin (kemeja batik). __ foto: Mito Vevec

Jumat, 10 Maret 2017

"Air Mata Bunda"(Sebuah Percakapan Imajiner)

Suatu ketika, anak laki-laki saya Abu Dzar Al-Ghiffari bertanya kepada ibunya, Bunda, mengapa menangis? Bundanya menjawab, Sebab bunda adalah perempuan, nak. Saya tak mengerti bunda, kata Aby sapaannya. Bundanya hanya tersenyum dan memeluknya erat. Aby, kau memang tak akan mengerti…

Kemudian Aby bertanya kepada ayahnya. Ayah, mengapa bunda menangis? Bundamu menangis tanpa sebab yang jelas, sang ayah menjawab. Semua perempuan memang sering menangis tanpa alasan.

Si anak membesar menjadi remaja, dan dia tetap terus bertanya-tanya, mengapa perempuan menangis? Hingga pada suatu malam, ia bermimpi dan bertanya kepada Tuhan, Ya Allah, mengapa perempuan mudah menangis? Dalam mimpinya ia merasa seolah mendengar jawabannya:

Saat Ku ciptakan wanita. Aku membuatnya menjadi sangat utama. Kuciptakan bahunya, agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya, walaupun juga bahu itu harus cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur.

Kuberikan wanita kekuatan untuk dapat melahirkan bayi dari rahimnya, walau kerap berulangkali menerima cerca dari si bayi itu apabila ia telah membesar.

Kuberikan keperkasaan yang akan membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah saat semua orang sudah putus asa.

Ku berikan kesabaran jiwa untuk merawat keluarganya walau dia sendiri letih, walau sakit, walau penat, tanpa berkeluh kesah.

Kuberikan wanita perasaan peka dan kasih sayang untuk mencintai semua anaknya dalam kondisi dan situasi apapun. Walau acapkali anak-anaknya itu melukai perasaan dan hatinya. Perasaan ini pula yang akan memberikan kehangatan pada anak-anak yang mengantuk menahan lelap. Sentuhan inilah yang akan memberikan kenyamanan saat didekap dengan lembut olehnya.

Kuberikan wanita kekuatan untuk membimbing suaminya melalui masa-masa sulit dan menjadi pelindung baginya. Sebab bukankah tulang rusuk yang melindungi setiap hati dan jantung agar tak terkoyak.

Kuberikan kepadanya kebijaksanaan dan kemampuan untuk memberikan pengertian dan menyadarkan bahwa suami yang baik adalah yang tak pernah melukai isterinya. Walau seringkali pula kebijaksanaan itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada suami agar tetap berdiri sejajar, saling melengkapi dan saling menyayangi.

Dan akhirnya, Kuberikan ia air mata, agar dapat mencurahkan perasaannya. Inilah yang khusus kepada wanita, agar dapat ia gunakan bila masa pun ia inginkan. Ini bukan kelemahan bagi wanita, karena sebenarnya air mata ini adalah air mata kehidupan. [GN-01]

***
Catatan sederhana ini saya persembahkan buat istri tercinta Anthy Giffari yang pada 11 Maret 2017 hari ini menapaki usianya ke-37 tahun.
Perempuan tangguh yang berani bertaruh apa saja untuk mendamipingi saya. Andai ada kata yang lebih indah dari cinta, dan lebih berat dari terima kasih, tentu saya akan mempersembahkan untuknya.
Yaumul milad sayang... barakallah fii umrik.


Foto: Bunda dan Abu Dzar Al-Ghiffari

Rabu, 08 Maret 2017

"Ubah Sejarah, Ubah Taktik"

SEJARAH menunjukkan bahwa belum pernah ada satupun tim yang lolos ke babak berikutnya di fase gugur Liga Champions setelah kalah 0-4 di leg pertama.

Barcelona mengalami kekalahan telak 0-4 dari Paris Saint-Germain (PSG) ketika melawat ke Paris pada laga pertama babak 16 besar Liga Champions. Tidak heran, sebelum pertemuan kedua dini hari tadi (Kamis, 9 Maret 2017), kans Barcelona disinyalir telah habis dan akan kesulitan untuk mengejar defisit gol yang cukup besar itu.
Kemenangan dengan skor 'Manita' (istilah Spanyol untuk menang lima gol), menjadi harga mati yang harus ditebus oleh Barcelona pada pertandingan ini.

Namun tim Catalan bikin sejarah. Lionel Messi dkk. mengubah hal yang tadinya dipandang berat oleh lawan atau bahkan sebagian besar orang/fans bola, ternyata enteng saja. Barca memberi pelajaran buat PSG cara bermain sepakbola atraktif dan efektif.
Kemenangan 6-1 (agregat 6-5) begitu dramatis. Dramatis karena sampai memasuki injury time (menit 86) skor masih 3-1. Artinya Barca masih butuh 3 gol lagi untuk memastikan lolos. Spirit kolektivitas, skil, dan optimisme juang yang tinggi, adalah nilai-nilai yang patut kita tiru dari dari para pemain Barcelona.

Di sisi strategi bermain, saya menaruh hormat buat sang entrenador Luis Enrique. Ya, saya mengamati Enrique sepertinya mengubah formasi dan taktik. Formasi andalan Barca selama ini 4-3-3, diubah dengan menerapkan dua formasi sekaligus.

Perubahan formasi menjadi 3-4-3 ketika menyerang dan 4-4-2 ketika bertahan membuat Barcelona dapat dengan mudah menciptakan banyak orang di daerah permainannya ketika bertahan.

Saya dan mungkin anda tak bisa bayangkan seninya Barcelona meracik taktik. Dengan menggunakan formasi dan ubah taktik seperti itu, Barcelona berubah menjadi kesebelasan yang mematikan saat menyerang dan kokoh saat bertahan, bukan ?? Hehe..

Cukup! Tulisan ini sampai di sini saja. Karena memang sudah lama saya cuti dari jurnalis olahraga. Hehe... Lagian saya masih ingin merayakan kemenangan, hati saya masih meluap girang, bernyanyi gembira sambil menikmati suguhan Kopi Dabe sentuhan tangan tercinta Anthy Giffari.
Bahagia bercampur senang sekali pagi ini...

Visca Barca...
Enhorabona Messi...
______
Alloed Dahlan
GN-01
9 Maret 2017
    Alloed Dahlan & Abu Dzar Al-Ghiffari

Jumat, 03 Maret 2017

MAAFKAN AKU TUHAN(Kontemplasi di malam Jum'at)

Aku melihat detik-detik kehidupan lambat laun habis,
namun keinginan-keinginanku masih belum terpenuhi.
Suatu perjalanan panjang terbentang dihadapanku,
sedangkan aku tiada bekal untuk jalan itu...

Aku manjakan tubuhku dengan pakaian-pakaian halus dan mewah,
sedikit berpikir bahwa itu akan membusuk dan hancur dalam kubur.

Aku bayangkan tubuhku remuk menjadi debu dalam lubang kubur,
di bawah gundukan tanah.
Keindahan tubuhku akan berangsur-angsur hilang,
sedikit demi sedikit berkurang hingga tinggallah kerangka,
tanpa kulit dan daging.

Aku menentang Tuhanku,
melanggar perintah-perintah-Nya terang terangan,
sementara Ia mengawasiku setiap saat. Tanpa luput sedikitpun.

Ah! Aku berdosa secara rahasia,
tidak pernah orang lain mengetahui dosa-dosaku yang mengerikan.
Tetapi esok, rahasia dosa-dosaku ditampakan dan dipertunjukan kepada Tuhanku...

Ah! Aku berdosa terhadap-Nya,
walaupun hati merasa takut,
namun aku sangat mempercayai ampunan-Nya yang tak terbatas.
Aku berdosa dan tak tahu malu,
dengan berani bergantung kepada ampunan-Nya yang tak terbatas.

Tuhan, ampunilah aku... hanya Engkaulah aku bergantung.
Karena Engkau punya seluruh kekuatan.


⬛Alloed Dahlan
Tomalou-Tidore, 18 Februari 2010.

                              Alloed Dahlan

Rabu, 18 Januari 2017

“Sultan Tidore, Morotai dan Jokowi.”(Gerbang Indonesia Menuju Pasifik)

Oleh Syaiful Bahri Ruray

Begitu cepatnya kekuasaan meresponi surat Sultan Tidore kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, tentang investasi di Morotai, sungguh melegakan satu sisi. Walaupun banyak dimensi harus dilihat sebagai hal yang komprehensif dalam pengembangan sebuah kawasan. Banyak teori pembangunan bisa diajukan, juga sebanyak kegagalan yang dihadapi dalam pembangunan yang telah dibahas para akademisi dunia.

Morotai memang menjadi topik pembicaraan tingkat tinggi antara Presiden Jokowi dan Perdana Menteri Jepang Sinzo Abe di Istana Bogor. Setelah sebelumnya jagad politik dihebohkan dengan ijin pemberian nama pulau-pulau Indonesia yang diserahkan ke pihak asing untuk dikembangkan. Menjadi perdebatan karena dari sisi kedaulatan kebijakan tersebut seperti tidak berbasis pada UNCLOS,1982 sebagai rujukan hukum internasional yang dianut PBB. Padahal konvensi hukum laut internasional di  Montegua Bay, Jamaica pada 1982 tersebut, substantifnya sangat dipengaruhi oleh kontribusi Indonesia, khususnya pada pasal-pasal laut territorial. Karena Indonesia telah melakukan tindakan unilateral dengan Deklarasi Djuanda, 1957 yang membatalkan regulasi kolonial Belanda ‘Teritorial Zee en Maritime Kringen Ordonatie’ 1939 tsb yang hanya menetapkan 3 mil laut territorial. Perjuangan Indonesia tentang konsep ‘archipelagic state’ diakui dunia. Kita juga seakan lupa akan kasus sebelumnya, ketika Amerika Serikat dan Belanda memperebutkan ‘Island of Palmas’ yang sekarang dikenal dengan nama Marore di Sulawesi Utara. Hakim Max Huber (Swedia) memutuskan pulau ini menjadi milik Hindia Belanda karena memenuhi syarat doktrin okupasi yang juga dengan ketentuan yang sama, Mahkamah Internasional di Den Haag memenangkan kepemilikan Malaysia atas Sipadan dan Ligitan. Dan paling anyar adalah klaim RRC atas Natuna dan perairan sekitarnya pada 2015 yang menghebohkan tersebut. Bahwa tanpa memberi perhatian serius pada wilayah-wilayah pinggiran, Indonesia akan kehilangan kedaulatannya perlahan-lahan entah atas nama investasi atau apapun, terutama dalam abad perang asimetrik (proxy war) dewasa ini. Perang jenis baru berbasis intelijen sebagai komponen utamanya dengan berbasis kapital dan teknologi untuk menguasai sebuah wilayah sasaran, dengan tanpa melepaskan satupun tembakan senjata konvensional.

Bahwa globalisasi dunia kini tengah bergeser dari kawasan Atlantik ke Asia-Pasifik, dengan melihat trend aktor-aktor Asia-Pasifik telah disampaikan cendikiawan seperti Kishore Mahbubani maupun Immmanuel Hsu.  Indonesia sebagai negara ‘Pacific Rim’ dimana Natuna, Morotai dan Papua adalah kawasan yang secara geografis berhadapan dengan Pasifik sebagai episentrum baru ini. Bahkan banyak ahli geostrategik menyatakan bahwa Pasifik akan menjadi ajang konflik global masa depan karena perebutan jalur transportasi laut, mineral dan sumber daya alam lainnya. Kasus ‘Spratley atau Pulau Senkaku’ di Laut China Selatan adalah salah satu trigernya karena klaim tumpang tindih lima negara kawasan. Padahal jauh-jauh hari sebelumnya, pada 1938, seorang anak desa Tondano, Sam Ratulangi, telah menulis tentang percaturan di Pasifik (Indonesia di Pasifik). Nah, dalam konteks seperti itulah mungkin mendasari perenungan seorang Sultan Tidore, Husain Syah, menyurati Presiden sebuah negara rim pasifik pemilik pulau terbesar di dunia ini, sesaat setelah pembicaraan dengan PM Jepang.

Walaupun kegelisahan dan tanya, menurut saya lebih pada fungsi sultan sebagai kolano kawasan Moloku Kieraha, halmana merupakan kewajiban kultural sultan sebagai simbol kultural pada wilayah ini. Surat ini demikan cepat menjadi viral hingga istana dan senayan. Padahal surat awak senayan, khususnya kepada kekuasaan lokal Maluku Utara, bahkan tak tergubris dan hilang bagai ditelan deburan gelombang selat Maitara. Saya jadi teringat statement Prof.Martani Husain, seorang ahli marketing perikanan, bahwa Morotai ini tidak bisa dinyanyikan seorang diri, harus penyanyi ‘koor.’ Surat dari senayan tersebut sesungguhnya adalah respon atas rencana Bappenas mengunjungi Morotai untuk perencanaan 6 KEK yang telah diumukan Menko Ekuin Darmin Nasution dimana Morotai adalah salah satunya. Bua dari pertemuan di Istana Wapres pada Mei 2016 lalu.

Bahwa tanpa kesiapan lokal tentu saja perspektif pengembangan dari pinggiran, sebagaimana yang sering didengungkan Jokowi, bagaikan penyanyi tunggal belaka. Apalagi memberi nama asing. Namun saja Menteri Perikanan dan Kelautan ternyata membantahnya karena DPR RI juga keberatan atas usulan pemerintah tersebut. Bahwa Sultan memposisikan diri sebagai kolano, dimana keberpihakannya terhadap masyarakat lokal Morotai, sungguh sangat proporsional. Karena membangun Morotai, identik dengan mempersiapkan gerbang Indonesia menuju episentrum baru dunia di Pasifik. Tanpa keterlibatan masyarakat lokal, sesungguhnya kita hanya akan menjadi penonton yang pasif dan diam sementara pihak asing mengeksploitasi sumber daya alam atas seijin negara dengan mengatasnamakan pembangunan. Lalu, timbul pertanyaan, untuk siapakah pembangunan dan kekayaan alam kita ? Saya teringat pada 2011, mendampingi Jusuf Wanandi mengelilingi pulau-pulau di Morotai, Jusuf Wanandi demikian terkesima dengan pusat penangkaran ikan kerapu, budi daya mutiara dan rumput laut serta keindahan pulau-pula kecil yang eksotis…’ini harus dijaga jangan sampai jatuh kepihak asing’ demikian ungkap Jusuf Wanandi. Sayangnya, republik ini lebih banyak dihuni oleh kekuasaan dan rakyat yang ‘ahistoris’, bangsa pelupa karena mengidap amnesia sejarah. Lebih banyak senang ‘hoax’.

Dalam konteks itulah, surat Jou Kolano Tidore, bagaikan petir yang menyambar disiang bolong, untuk mengingatkan. Bahwa pembangunan itu bukanlah memposisikan rakyat lokal menjadi periferal. Morotai yang eksotis, penuh nilai sejarah, jelas sangat menjanjikan. Morotai adalah gerbang Indonesia di Pasifik. Alangkah konyol jika rumah besar NKRI, sebagaimana istilah Sultan Tidore, malah gerbangnya dikuasakan kepada pihak asing. Saya, yang mengalami masa kecil pada butiran pasir putih Morotai. Kakek saya Sangaji Wayabula yang pada 1942 menyaksikan pendudukan Jepang pada Morotai, dan pada 1944 turut menyaksikan pendaratan Douglas MacArthur di Tanjung Dehegila Morotai. Bahwa Morotai bukanlah sepotong negeri tak bertuan.

Bahwa ‘warkatul ikhlas’ Jou Kolano Tidore, adalah tindakan yang benar berbasis keikhlasan nurani seorang anak negeri. Beliau sekedar meneruskan tradisi Kaicili Paparangan Jou Barakati. Agar negara ini tidak menjadi negara gagal, ketika elite di pusat kekuasaan semakin terjebak pada perang politik identitas tak berujung pangkal akhir-akhir ini. Halmana dapat menggerus keindonesiaan kita, karena kita asyik bertikai sementara SDA diekploitasi asing didepan mata kita. Surat Sultan adalah sebuah upaya merajut keindonesiaan kita.


Pojok Sunyi Kalibata.
18 Januari 2017.
Penulis adalah Cucu Hoofd District van Wayabula.
_____________________
Sekadar membagikan 'Percik Pemikiran' bang Syaiful Ruray.
Makasi kanda atas tulisan yang bernas ini.


Pict: Salah satu pesawat sisa Perang Dunia II di perairan laut Morotai.

Senin, 02 Januari 2017

AMANAT

Amanat. Satu kata yang terdengar sepeleh dalam ucapan tapi beresiko tinggi. Terlebih bila disalahgunakan. Amanat akar katanya dari "amana", percaya. Jadi amanat ini berkaitan dengan kepercayaan, yakni sesuatu yang diberikan kepada seseorang untuk ditunaikan sebagaimana mestinya.

Kaitan dengan amanat, sahabat Khalid bin Walid setelah masuk Islam dikenal sebagai panglima perang yang ditakuti lawan. Beliau bahkan dijuluki Rasulullah sebagai "Syaifullah" (Pedang Allah). Perluasan Islam hingga ke Mesir, Irak dan Syam di masa Khalifah Umar bin Khattab tidak terlepas dari kiprah dan kegagahan Khalid. Tetapi dalam peristiwa penaklukan Syam, Khalid tiba-tiba dicopot Khalifah Umar dari jabatannya sebagai panglima perang.
Apa sikap Khalid? Dia dengan ikhlas menerimanya, tanpa pembangkangan. Khalid bahkan berkata, "Aku berperang bukan karena Umar, tetapi karena Allah". Inilah mutiara akhlaq dalam diri seorang Khalid yang menjadi teladan dalam menunaikan amanat.

Ada juga kejadian lain. Dalam peristiwa Perang Uhud dimana umat Islam mengalami kekalahan. Para pasukan panah tidak taat perintah, lantas turun dan sebagian berebut harta rampasan perang atau ghanimah. Umat Islam dipukul mundur dan kalah. Banyak pejuang Islam terbunuh, seperti Hamzah bin Abi Thalib paman Nabi. Rasulullah pun sempat terluka. Nabi malah sempat dikabarkan wafat, yang menimbulkan kepanikan pasukan umat Islam yang masih tersisa. Namun Rasulullah segera melakukan konsolidasi pasukan yang tersisa agar tidak dipukul kembali oleh musuh. Rasulullah mengambil pedang lalu diangkat sambil berseru membangkitkan semangat. Siapa yang berani mengambil pedang ini? Semua saling berebut. Rasul kembali bertanya, siapa yang berani mengambil pedang ini dengan tanggungjawab?
Akhirnya seorang sahabat, Abu Dujanah, mengambilnya dan lari ke tengah- tengah musuh, yang diikuti pasukan muslim yang tersisa. Terjadilah pertempuran kembali, yang kemudian pasukan musuh menarik diri, dan kaum muslimin terhindar dari kekalahan total. Abu Dujanah pun gugur di medan Uhud menjadi syahid bersama Hamzah bin Abi Thalib dan para syuhada lainnya.
Peristiwa Khalid dan Perang Uhud itu mengisyaratkan betapa sebuah tugas atau amanah harus diterima dan ditunaikan dengan penuh keikhlasan dan tanggungjawab yang tinggi. Bukan sekadar menyatakan sanggup dengan amanah. Amanah bukan dikejar, apalagi diminta-minta dan diperebutkan dengan cara-cara yang penuh nafsu ambisi. Ambisilah yang membuat amanat tidak tertunaikan, bahkan terkhianati karena yang dikejar ternyata hal-hal yang bersifat duniawi.

Maka, jangan anggap remeh amanat. Sungguh mahal amanat itu. Mahal dalam arti tidak sembarang orang memperoleh amanat dan tidak banyak yang mampu menunaikannya dengan baik. Karena itu Rasulullah pernah menolah permintaan Abu Dzar Al-Ghiffari atas jabatan tertentu, karena beliau memandang sahabat yang dikenal sangat zuhud itu dipandang tidak tepat untuk memangku jabatan umat. Kisah ini mengandung pesan, jangan sekali-kali meminta atau mengejar jabatan yang menyangkut amanat keumatan atau apapun, karena betapa berat amanat itu. Sebaliknya, jangan gampang memberikan amanat kepada seseorang yang dimungkinkan tidak akan mampu menunaikannya dengan penuh tanggungjawab.
Di negeri ini, nilai-nilai luhur agama seperti amanah, kejujuran dan kebaikan harus semakin ditaburkan dalam keteladanan kata sejalan dengan tindakan. Tidak sedikit petinggi negeri yang berjanji menunaikan amanat rakyat, tapi setelah terpilih menjadi presiden, anggota legislatif, gubernur, bupati/walikota, atau diberi kepercayaan jadi menteri, hakim, jaksa, camat, lurah/kades, kepala instansi (kepala SKPD, kabag, kabid, kasi, dan jabatan sekecil apapun) kemudian lalai dan ingkar janji. Kalaupun menunaikan mandat, sebatas formalitas dan rutinitas belaka. Hal-hal yang dibuat hanya remeh temeh berorientasi mencari popularitas, prestise, bukan hal yang substantif. Amanat atau mandat gampang diikrarkan dan disanggupi, namun tidak mudah ditepati dan diwujudkan dengan bukti. Padahal sekali amanat itu diabaikan atau dikhianati maka kehancuranlah yang akan terjadi. Apalagi jika amanat yang diabaikan atau disia-siakan itu menyangkut jabatan kepemimpinan umat atau publik.

Menunaikan amanat itu memerlukan jiwa ikhlas. Bukan ambisi dan kekuasaan yang harus dikejar. Bila amanat sudah diterima atas dasar keikhlasan, maka yang berikutnya ialah melaksanakan amanat itu dengan sebaiknya penuh rasa tanggungjawab. Di situlah pentingnya komitmen dan pengkhidmatan yang tulus dan serius sekaligus optimal. Di sinilah pentingnya memahami esensi amanat. Amanat berupa jabatan itu bukan kesenangan dan barang yang harus diraih, sebab ia adalah beban yang akan diminta pertanggungjawaban.

Jadi, bersikaplah wajar. Jika diberi amanat, tunaikanlah, itupun manakalah merasa mampu. Apabila merasa tidak mampu maka terimalah amanat lain yang dirasa lebih tepat dan mampu. Jangan serakah. Sebab sekali mengejarnya, apalagi dengan segala cara, maka akan membawa pada keburukan, bahkan kehilangan berkah dari Allah.

Akhirnya, bagi saya "AMANAT" itu sangat luhur, mulia dan berat. Kalau ada orang yang mengejar dan mengusahakan diri agar memperoleh amanat, maka perlu bertanya pada diri sendiri. Untuk apa mengejarnya? Jangan-jangan salah niat, salah jalan.
Wallahu'Alam...
Barakallah.
_____________
Alloed Dahlan
3 Januari 2016
Ilustrasi: Diambil sumpah jabatan.