This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 18 Januari 2017

“Sultan Tidore, Morotai dan Jokowi.”(Gerbang Indonesia Menuju Pasifik)

Oleh Syaiful Bahri Ruray

Begitu cepatnya kekuasaan meresponi surat Sultan Tidore kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, tentang investasi di Morotai, sungguh melegakan satu sisi. Walaupun banyak dimensi harus dilihat sebagai hal yang komprehensif dalam pengembangan sebuah kawasan. Banyak teori pembangunan bisa diajukan, juga sebanyak kegagalan yang dihadapi dalam pembangunan yang telah dibahas para akademisi dunia.

Morotai memang menjadi topik pembicaraan tingkat tinggi antara Presiden Jokowi dan Perdana Menteri Jepang Sinzo Abe di Istana Bogor. Setelah sebelumnya jagad politik dihebohkan dengan ijin pemberian nama pulau-pulau Indonesia yang diserahkan ke pihak asing untuk dikembangkan. Menjadi perdebatan karena dari sisi kedaulatan kebijakan tersebut seperti tidak berbasis pada UNCLOS,1982 sebagai rujukan hukum internasional yang dianut PBB. Padahal konvensi hukum laut internasional di  Montegua Bay, Jamaica pada 1982 tersebut, substantifnya sangat dipengaruhi oleh kontribusi Indonesia, khususnya pada pasal-pasal laut territorial. Karena Indonesia telah melakukan tindakan unilateral dengan Deklarasi Djuanda, 1957 yang membatalkan regulasi kolonial Belanda ‘Teritorial Zee en Maritime Kringen Ordonatie’ 1939 tsb yang hanya menetapkan 3 mil laut territorial. Perjuangan Indonesia tentang konsep ‘archipelagic state’ diakui dunia. Kita juga seakan lupa akan kasus sebelumnya, ketika Amerika Serikat dan Belanda memperebutkan ‘Island of Palmas’ yang sekarang dikenal dengan nama Marore di Sulawesi Utara. Hakim Max Huber (Swedia) memutuskan pulau ini menjadi milik Hindia Belanda karena memenuhi syarat doktrin okupasi yang juga dengan ketentuan yang sama, Mahkamah Internasional di Den Haag memenangkan kepemilikan Malaysia atas Sipadan dan Ligitan. Dan paling anyar adalah klaim RRC atas Natuna dan perairan sekitarnya pada 2015 yang menghebohkan tersebut. Bahwa tanpa memberi perhatian serius pada wilayah-wilayah pinggiran, Indonesia akan kehilangan kedaulatannya perlahan-lahan entah atas nama investasi atau apapun, terutama dalam abad perang asimetrik (proxy war) dewasa ini. Perang jenis baru berbasis intelijen sebagai komponen utamanya dengan berbasis kapital dan teknologi untuk menguasai sebuah wilayah sasaran, dengan tanpa melepaskan satupun tembakan senjata konvensional.

Bahwa globalisasi dunia kini tengah bergeser dari kawasan Atlantik ke Asia-Pasifik, dengan melihat trend aktor-aktor Asia-Pasifik telah disampaikan cendikiawan seperti Kishore Mahbubani maupun Immmanuel Hsu.  Indonesia sebagai negara ‘Pacific Rim’ dimana Natuna, Morotai dan Papua adalah kawasan yang secara geografis berhadapan dengan Pasifik sebagai episentrum baru ini. Bahkan banyak ahli geostrategik menyatakan bahwa Pasifik akan menjadi ajang konflik global masa depan karena perebutan jalur transportasi laut, mineral dan sumber daya alam lainnya. Kasus ‘Spratley atau Pulau Senkaku’ di Laut China Selatan adalah salah satu trigernya karena klaim tumpang tindih lima negara kawasan. Padahal jauh-jauh hari sebelumnya, pada 1938, seorang anak desa Tondano, Sam Ratulangi, telah menulis tentang percaturan di Pasifik (Indonesia di Pasifik). Nah, dalam konteks seperti itulah mungkin mendasari perenungan seorang Sultan Tidore, Husain Syah, menyurati Presiden sebuah negara rim pasifik pemilik pulau terbesar di dunia ini, sesaat setelah pembicaraan dengan PM Jepang.

Walaupun kegelisahan dan tanya, menurut saya lebih pada fungsi sultan sebagai kolano kawasan Moloku Kieraha, halmana merupakan kewajiban kultural sultan sebagai simbol kultural pada wilayah ini. Surat ini demikan cepat menjadi viral hingga istana dan senayan. Padahal surat awak senayan, khususnya kepada kekuasaan lokal Maluku Utara, bahkan tak tergubris dan hilang bagai ditelan deburan gelombang selat Maitara. Saya jadi teringat statement Prof.Martani Husain, seorang ahli marketing perikanan, bahwa Morotai ini tidak bisa dinyanyikan seorang diri, harus penyanyi ‘koor.’ Surat dari senayan tersebut sesungguhnya adalah respon atas rencana Bappenas mengunjungi Morotai untuk perencanaan 6 KEK yang telah diumukan Menko Ekuin Darmin Nasution dimana Morotai adalah salah satunya. Bua dari pertemuan di Istana Wapres pada Mei 2016 lalu.

Bahwa tanpa kesiapan lokal tentu saja perspektif pengembangan dari pinggiran, sebagaimana yang sering didengungkan Jokowi, bagaikan penyanyi tunggal belaka. Apalagi memberi nama asing. Namun saja Menteri Perikanan dan Kelautan ternyata membantahnya karena DPR RI juga keberatan atas usulan pemerintah tersebut. Bahwa Sultan memposisikan diri sebagai kolano, dimana keberpihakannya terhadap masyarakat lokal Morotai, sungguh sangat proporsional. Karena membangun Morotai, identik dengan mempersiapkan gerbang Indonesia menuju episentrum baru dunia di Pasifik. Tanpa keterlibatan masyarakat lokal, sesungguhnya kita hanya akan menjadi penonton yang pasif dan diam sementara pihak asing mengeksploitasi sumber daya alam atas seijin negara dengan mengatasnamakan pembangunan. Lalu, timbul pertanyaan, untuk siapakah pembangunan dan kekayaan alam kita ? Saya teringat pada 2011, mendampingi Jusuf Wanandi mengelilingi pulau-pulau di Morotai, Jusuf Wanandi demikian terkesima dengan pusat penangkaran ikan kerapu, budi daya mutiara dan rumput laut serta keindahan pulau-pula kecil yang eksotis…’ini harus dijaga jangan sampai jatuh kepihak asing’ demikian ungkap Jusuf Wanandi. Sayangnya, republik ini lebih banyak dihuni oleh kekuasaan dan rakyat yang ‘ahistoris’, bangsa pelupa karena mengidap amnesia sejarah. Lebih banyak senang ‘hoax’.

Dalam konteks itulah, surat Jou Kolano Tidore, bagaikan petir yang menyambar disiang bolong, untuk mengingatkan. Bahwa pembangunan itu bukanlah memposisikan rakyat lokal menjadi periferal. Morotai yang eksotis, penuh nilai sejarah, jelas sangat menjanjikan. Morotai adalah gerbang Indonesia di Pasifik. Alangkah konyol jika rumah besar NKRI, sebagaimana istilah Sultan Tidore, malah gerbangnya dikuasakan kepada pihak asing. Saya, yang mengalami masa kecil pada butiran pasir putih Morotai. Kakek saya Sangaji Wayabula yang pada 1942 menyaksikan pendudukan Jepang pada Morotai, dan pada 1944 turut menyaksikan pendaratan Douglas MacArthur di Tanjung Dehegila Morotai. Bahwa Morotai bukanlah sepotong negeri tak bertuan.

Bahwa ‘warkatul ikhlas’ Jou Kolano Tidore, adalah tindakan yang benar berbasis keikhlasan nurani seorang anak negeri. Beliau sekedar meneruskan tradisi Kaicili Paparangan Jou Barakati. Agar negara ini tidak menjadi negara gagal, ketika elite di pusat kekuasaan semakin terjebak pada perang politik identitas tak berujung pangkal akhir-akhir ini. Halmana dapat menggerus keindonesiaan kita, karena kita asyik bertikai sementara SDA diekploitasi asing didepan mata kita. Surat Sultan adalah sebuah upaya merajut keindonesiaan kita.


Pojok Sunyi Kalibata.
18 Januari 2017.
Penulis adalah Cucu Hoofd District van Wayabula.
_____________________
Sekadar membagikan 'Percik Pemikiran' bang Syaiful Ruray.
Makasi kanda atas tulisan yang bernas ini.


Pict: Salah satu pesawat sisa Perang Dunia II di perairan laut Morotai.

Senin, 02 Januari 2017

AMANAT

Amanat. Satu kata yang terdengar sepeleh dalam ucapan tapi beresiko tinggi. Terlebih bila disalahgunakan. Amanat akar katanya dari "amana", percaya. Jadi amanat ini berkaitan dengan kepercayaan, yakni sesuatu yang diberikan kepada seseorang untuk ditunaikan sebagaimana mestinya.

Kaitan dengan amanat, sahabat Khalid bin Walid setelah masuk Islam dikenal sebagai panglima perang yang ditakuti lawan. Beliau bahkan dijuluki Rasulullah sebagai "Syaifullah" (Pedang Allah). Perluasan Islam hingga ke Mesir, Irak dan Syam di masa Khalifah Umar bin Khattab tidak terlepas dari kiprah dan kegagahan Khalid. Tetapi dalam peristiwa penaklukan Syam, Khalid tiba-tiba dicopot Khalifah Umar dari jabatannya sebagai panglima perang.
Apa sikap Khalid? Dia dengan ikhlas menerimanya, tanpa pembangkangan. Khalid bahkan berkata, "Aku berperang bukan karena Umar, tetapi karena Allah". Inilah mutiara akhlaq dalam diri seorang Khalid yang menjadi teladan dalam menunaikan amanat.

Ada juga kejadian lain. Dalam peristiwa Perang Uhud dimana umat Islam mengalami kekalahan. Para pasukan panah tidak taat perintah, lantas turun dan sebagian berebut harta rampasan perang atau ghanimah. Umat Islam dipukul mundur dan kalah. Banyak pejuang Islam terbunuh, seperti Hamzah bin Abi Thalib paman Nabi. Rasulullah pun sempat terluka. Nabi malah sempat dikabarkan wafat, yang menimbulkan kepanikan pasukan umat Islam yang masih tersisa. Namun Rasulullah segera melakukan konsolidasi pasukan yang tersisa agar tidak dipukul kembali oleh musuh. Rasulullah mengambil pedang lalu diangkat sambil berseru membangkitkan semangat. Siapa yang berani mengambil pedang ini? Semua saling berebut. Rasul kembali bertanya, siapa yang berani mengambil pedang ini dengan tanggungjawab?
Akhirnya seorang sahabat, Abu Dujanah, mengambilnya dan lari ke tengah- tengah musuh, yang diikuti pasukan muslim yang tersisa. Terjadilah pertempuran kembali, yang kemudian pasukan musuh menarik diri, dan kaum muslimin terhindar dari kekalahan total. Abu Dujanah pun gugur di medan Uhud menjadi syahid bersama Hamzah bin Abi Thalib dan para syuhada lainnya.
Peristiwa Khalid dan Perang Uhud itu mengisyaratkan betapa sebuah tugas atau amanah harus diterima dan ditunaikan dengan penuh keikhlasan dan tanggungjawab yang tinggi. Bukan sekadar menyatakan sanggup dengan amanah. Amanah bukan dikejar, apalagi diminta-minta dan diperebutkan dengan cara-cara yang penuh nafsu ambisi. Ambisilah yang membuat amanat tidak tertunaikan, bahkan terkhianati karena yang dikejar ternyata hal-hal yang bersifat duniawi.

Maka, jangan anggap remeh amanat. Sungguh mahal amanat itu. Mahal dalam arti tidak sembarang orang memperoleh amanat dan tidak banyak yang mampu menunaikannya dengan baik. Karena itu Rasulullah pernah menolah permintaan Abu Dzar Al-Ghiffari atas jabatan tertentu, karena beliau memandang sahabat yang dikenal sangat zuhud itu dipandang tidak tepat untuk memangku jabatan umat. Kisah ini mengandung pesan, jangan sekali-kali meminta atau mengejar jabatan yang menyangkut amanat keumatan atau apapun, karena betapa berat amanat itu. Sebaliknya, jangan gampang memberikan amanat kepada seseorang yang dimungkinkan tidak akan mampu menunaikannya dengan penuh tanggungjawab.
Di negeri ini, nilai-nilai luhur agama seperti amanah, kejujuran dan kebaikan harus semakin ditaburkan dalam keteladanan kata sejalan dengan tindakan. Tidak sedikit petinggi negeri yang berjanji menunaikan amanat rakyat, tapi setelah terpilih menjadi presiden, anggota legislatif, gubernur, bupati/walikota, atau diberi kepercayaan jadi menteri, hakim, jaksa, camat, lurah/kades, kepala instansi (kepala SKPD, kabag, kabid, kasi, dan jabatan sekecil apapun) kemudian lalai dan ingkar janji. Kalaupun menunaikan mandat, sebatas formalitas dan rutinitas belaka. Hal-hal yang dibuat hanya remeh temeh berorientasi mencari popularitas, prestise, bukan hal yang substantif. Amanat atau mandat gampang diikrarkan dan disanggupi, namun tidak mudah ditepati dan diwujudkan dengan bukti. Padahal sekali amanat itu diabaikan atau dikhianati maka kehancuranlah yang akan terjadi. Apalagi jika amanat yang diabaikan atau disia-siakan itu menyangkut jabatan kepemimpinan umat atau publik.

Menunaikan amanat itu memerlukan jiwa ikhlas. Bukan ambisi dan kekuasaan yang harus dikejar. Bila amanat sudah diterima atas dasar keikhlasan, maka yang berikutnya ialah melaksanakan amanat itu dengan sebaiknya penuh rasa tanggungjawab. Di situlah pentingnya komitmen dan pengkhidmatan yang tulus dan serius sekaligus optimal. Di sinilah pentingnya memahami esensi amanat. Amanat berupa jabatan itu bukan kesenangan dan barang yang harus diraih, sebab ia adalah beban yang akan diminta pertanggungjawaban.

Jadi, bersikaplah wajar. Jika diberi amanat, tunaikanlah, itupun manakalah merasa mampu. Apabila merasa tidak mampu maka terimalah amanat lain yang dirasa lebih tepat dan mampu. Jangan serakah. Sebab sekali mengejarnya, apalagi dengan segala cara, maka akan membawa pada keburukan, bahkan kehilangan berkah dari Allah.

Akhirnya, bagi saya "AMANAT" itu sangat luhur, mulia dan berat. Kalau ada orang yang mengejar dan mengusahakan diri agar memperoleh amanat, maka perlu bertanya pada diri sendiri. Untuk apa mengejarnya? Jangan-jangan salah niat, salah jalan.
Wallahu'Alam...
Barakallah.
_____________
Alloed Dahlan
3 Januari 2016
Ilustrasi: Diambil sumpah jabatan.