Senin, 02 Januari 2017

AMANAT

Amanat. Satu kata yang terdengar sepeleh dalam ucapan tapi beresiko tinggi. Terlebih bila disalahgunakan. Amanat akar katanya dari "amana", percaya. Jadi amanat ini berkaitan dengan kepercayaan, yakni sesuatu yang diberikan kepada seseorang untuk ditunaikan sebagaimana mestinya.

Kaitan dengan amanat, sahabat Khalid bin Walid setelah masuk Islam dikenal sebagai panglima perang yang ditakuti lawan. Beliau bahkan dijuluki Rasulullah sebagai "Syaifullah" (Pedang Allah). Perluasan Islam hingga ke Mesir, Irak dan Syam di masa Khalifah Umar bin Khattab tidak terlepas dari kiprah dan kegagahan Khalid. Tetapi dalam peristiwa penaklukan Syam, Khalid tiba-tiba dicopot Khalifah Umar dari jabatannya sebagai panglima perang.
Apa sikap Khalid? Dia dengan ikhlas menerimanya, tanpa pembangkangan. Khalid bahkan berkata, "Aku berperang bukan karena Umar, tetapi karena Allah". Inilah mutiara akhlaq dalam diri seorang Khalid yang menjadi teladan dalam menunaikan amanat.

Ada juga kejadian lain. Dalam peristiwa Perang Uhud dimana umat Islam mengalami kekalahan. Para pasukan panah tidak taat perintah, lantas turun dan sebagian berebut harta rampasan perang atau ghanimah. Umat Islam dipukul mundur dan kalah. Banyak pejuang Islam terbunuh, seperti Hamzah bin Abi Thalib paman Nabi. Rasulullah pun sempat terluka. Nabi malah sempat dikabarkan wafat, yang menimbulkan kepanikan pasukan umat Islam yang masih tersisa. Namun Rasulullah segera melakukan konsolidasi pasukan yang tersisa agar tidak dipukul kembali oleh musuh. Rasulullah mengambil pedang lalu diangkat sambil berseru membangkitkan semangat. Siapa yang berani mengambil pedang ini? Semua saling berebut. Rasul kembali bertanya, siapa yang berani mengambil pedang ini dengan tanggungjawab?
Akhirnya seorang sahabat, Abu Dujanah, mengambilnya dan lari ke tengah- tengah musuh, yang diikuti pasukan muslim yang tersisa. Terjadilah pertempuran kembali, yang kemudian pasukan musuh menarik diri, dan kaum muslimin terhindar dari kekalahan total. Abu Dujanah pun gugur di medan Uhud menjadi syahid bersama Hamzah bin Abi Thalib dan para syuhada lainnya.
Peristiwa Khalid dan Perang Uhud itu mengisyaratkan betapa sebuah tugas atau amanah harus diterima dan ditunaikan dengan penuh keikhlasan dan tanggungjawab yang tinggi. Bukan sekadar menyatakan sanggup dengan amanah. Amanah bukan dikejar, apalagi diminta-minta dan diperebutkan dengan cara-cara yang penuh nafsu ambisi. Ambisilah yang membuat amanat tidak tertunaikan, bahkan terkhianati karena yang dikejar ternyata hal-hal yang bersifat duniawi.

Maka, jangan anggap remeh amanat. Sungguh mahal amanat itu. Mahal dalam arti tidak sembarang orang memperoleh amanat dan tidak banyak yang mampu menunaikannya dengan baik. Karena itu Rasulullah pernah menolah permintaan Abu Dzar Al-Ghiffari atas jabatan tertentu, karena beliau memandang sahabat yang dikenal sangat zuhud itu dipandang tidak tepat untuk memangku jabatan umat. Kisah ini mengandung pesan, jangan sekali-kali meminta atau mengejar jabatan yang menyangkut amanat keumatan atau apapun, karena betapa berat amanat itu. Sebaliknya, jangan gampang memberikan amanat kepada seseorang yang dimungkinkan tidak akan mampu menunaikannya dengan penuh tanggungjawab.
Di negeri ini, nilai-nilai luhur agama seperti amanah, kejujuran dan kebaikan harus semakin ditaburkan dalam keteladanan kata sejalan dengan tindakan. Tidak sedikit petinggi negeri yang berjanji menunaikan amanat rakyat, tapi setelah terpilih menjadi presiden, anggota legislatif, gubernur, bupati/walikota, atau diberi kepercayaan jadi menteri, hakim, jaksa, camat, lurah/kades, kepala instansi (kepala SKPD, kabag, kabid, kasi, dan jabatan sekecil apapun) kemudian lalai dan ingkar janji. Kalaupun menunaikan mandat, sebatas formalitas dan rutinitas belaka. Hal-hal yang dibuat hanya remeh temeh berorientasi mencari popularitas, prestise, bukan hal yang substantif. Amanat atau mandat gampang diikrarkan dan disanggupi, namun tidak mudah ditepati dan diwujudkan dengan bukti. Padahal sekali amanat itu diabaikan atau dikhianati maka kehancuranlah yang akan terjadi. Apalagi jika amanat yang diabaikan atau disia-siakan itu menyangkut jabatan kepemimpinan umat atau publik.

Menunaikan amanat itu memerlukan jiwa ikhlas. Bukan ambisi dan kekuasaan yang harus dikejar. Bila amanat sudah diterima atas dasar keikhlasan, maka yang berikutnya ialah melaksanakan amanat itu dengan sebaiknya penuh rasa tanggungjawab. Di situlah pentingnya komitmen dan pengkhidmatan yang tulus dan serius sekaligus optimal. Di sinilah pentingnya memahami esensi amanat. Amanat berupa jabatan itu bukan kesenangan dan barang yang harus diraih, sebab ia adalah beban yang akan diminta pertanggungjawaban.

Jadi, bersikaplah wajar. Jika diberi amanat, tunaikanlah, itupun manakalah merasa mampu. Apabila merasa tidak mampu maka terimalah amanat lain yang dirasa lebih tepat dan mampu. Jangan serakah. Sebab sekali mengejarnya, apalagi dengan segala cara, maka akan membawa pada keburukan, bahkan kehilangan berkah dari Allah.

Akhirnya, bagi saya "AMANAT" itu sangat luhur, mulia dan berat. Kalau ada orang yang mengejar dan mengusahakan diri agar memperoleh amanat, maka perlu bertanya pada diri sendiri. Untuk apa mengejarnya? Jangan-jangan salah niat, salah jalan.
Wallahu'Alam...
Barakallah.
_____________
Alloed Dahlan
3 Januari 2016
Ilustrasi: Diambil sumpah jabatan.

0 komentar:

Posting Komentar