Minggu, 12 Maret 2017

Memoar Jalan Revolusi (2)

Safia Marsaoly, disapa Sofia, HMI-wati yang supel dan enerjik. Dia satu-satunya perempuan yang berani menjadi relawan Aksi Mogok Makan dalam perjuangan pembentukan provinsi Maluku Utara, antara Februari atau Maret 1999.

Persiapan intens lebih sebulan. Edaran meminta partisipasi relawan jauh-jauh hari telah disampaikan kepada pimpinan OKP dan BEM di Kota Ternate, tetapi sampai H-2 tak ada satupun yang mendaftar.

Evaluasi pada H-1 diputuskan perlu menggunakan wibawa atau otoritas, dan saya dipercayakan menjadi eksekutor menunjuk pasukan terpilih juga terhandal sebagai relawan.

Hari itu juga saya meminta kawan-kawan mengumpulkan 10 orang yang nama-namanya sudah saya list. Malamnya, ba'da Isya saya briefing dengan mereka. Semua siap dan mestinya menyiapkan diri untuk aksi Mogok Makan yang batas waktunya belum ditentukan.

Besok paginya aksi mogok makan diawali dengan orasi, pembacaan pernyataan sikap, tuntutan dan ultimatum para relawan aksi mogok makan.
Di penghujung aksi, sekitar pukul 10 pagi, hujan deras mengguyur Ternate. Massa aksi berangsunr bubar, termasuk para senior, koordinator dan penggerak aksi. Tersisa saya menemani para relawan mogok makan.

Hujan deras seharian, kami tak geming, tetap duduk di trotoar persis di depan papan nama Kantor Bupati Maluku (eks kantor gubernur). Tak ada tenda atau terpal untuk bernaung. Anak-anak yang kedinginan mesti berbaring di atas aspal. Ada pula yang mencebur ke laut menghangatkan tubuhnya. Kami yang merokok mesti membeli kantong keresek besar, menudungi kepala sampai leher dan merokok.

Bada Dzuhur saya mengutus kawan-kawan menemui Sekretaris Darrah, meminta bantuan tenda atau terpal 6x4 supaya anak-anak bisa bernaung. Tapi tenda atau terpal yang dikanjikan tak kunjung ada.

Hujan mereda saat corong-corong masjid mulai mengaji. Tenda biru 4x3 meter dan tali rafiah sekepalan tangan baru diantar beberapa PNS, dan kami memasangnya persis di depan papan nama kantor itu.

Setengah jam kemudian, kawan-kawan lain bermunculan, Zainuddin Abdullah, Caken, Anwar Ways (alm), Hasyim Abdulkarim, Djufri Yakuba dan beberapa lainnya. Kami breifing sebentar, bagi tugas mencari tenda, terpal, tikar, dsb.

Dua unit tenda 4x4 dari Tukimin tiba di lokasi ba"da Maghrib dan langsung diset. Caken dan tim kecilnya dengan pickup cary menurunkan satu ball tikar plastik dan beberapa terpal. Terpal digelar paling bawah, lalu tikar dua-tiga lapis menjadi alas sekaligus tempat tidur para relawan. Beberapa lembar tikar disambungkan dan dililit mengelilingi tenda, menghalau angin dan hujan yang tempias.
Hari ke-2 aksi, kondisi beberapa relawan menurun. Beberapa dokter dari RSUD Chasan Boesoirie, IDI dan beberapa konsorsium dokter swasta, mulai membuka tenda, ikut nengawasi intensif kondisi relawan aksi.

Para dokter memberi pertimbangan medis agar beberapa relawan mesti diinfus, sebab lebih dari 48 jam mereka tidak makan apapun. Dokter lain menyarankan sebaiknya relawan yang mulai drop dibawa ke Rumah Sakit. Tetapi para relawan menolak. "Andai mesti diinfus, infus saja di sini," kata Sofia dan kawan-kawan.

Sejam dua jam kemudian tiga botol infus dengan slangnyan berjuntaian di bawah tenda berpenerangan minim. Tapi lagu-lagu kritis Iwan Fals tak henti terdengar dari sound sistem NJS (Narjan Jembatan Satu) yang dipinjamkan, gratis.
Sofia, Nyong Alkatiri, menyusul Irwanto Maneke diinfus. Sungguh tak ada yang bisa mengalahkan semangat dan tekad mereka.

Ah, memoar singkat ini saya tulis dengan bangga dan haru yang teramat. Di antara para relawan itu, ada sedang menjalani Ujian Semester. Satu jam sebelum jadwal mereka di antar ke kampus untuk ujian, setelahnya kembali lagi ke lokasi aksi.
Sofia,dia tumbuh dalam lingkungan aktifisme-kreatif Komunitas Seni Hitam Putih, Himpunan Mahasiswa Halmahera Tengah dan  Himpunan Pelajar Mahasiswa Nuku (Hipmin), binaan saya. Dia beberapa kali main teater yang saya tulis dan sutradarai, ikut vocal group bersama Unang dan kawan-kawan pada pergelaran seni yang kami  helat di Tidore.

Kini Sofia, seperti foto profilnya yang diupload di sini, mengenakan cadar, sehingga tak mudah dikenali. Sehari-harinya dia berprofesi sebagai guru di Kota Tidore Kepulauan.
(garasigenta_memoarjalanrevolusi)


Ditulis M.Sofyan Daud
Minggu 12 Maret 2017 di medsos FB.

                          Safia Marsaoly

0 komentar:

Posting Komentar