Selasa, 10 April 2018

SEKILAS MENELISIK SYAIFUDDIN, JOHN LOCKE DAN MONTESQUIEU

Sultan Syaifuddin atau Jou Kota, memimpin Kesultanan Tidore 1657- 1674. Selama kepemimpinannya banyak melakukan pembaharuan penting ketatanegaraan dan tata hubungan sosial. Pembahuruan yang mempromosikan kesultanan ini pada pencapaian terbaik dalam sejarah ketatanegaraan dan tata hubungan sosialnya.

Mula-mula sang sultan memindahkan pusat pemerintahan dari Kadato (keraton) Biji Nagara atau Kadato Kota ma You di Negeri Toloa ke Kadato Kie, di Sonyine Salaka  (Taman Perak), di Negeri Timore atau sekarang Soasio.

Selain mempertimbangkan stabilitas keamanan karena pusat pemerintahan di Toloa, pesisir Barat Tidore, relatif berdekatan dengan Ternate, pusat VOC di Maluku pada masa itu, perpindahan pusat pemerintahan ke Soasio di pesisir Timur Pulau Tidore ini untuk mengefektifkan kendali wilayah kesultanan (sphere of control), atas wilayah tengah Pulau Halmahera, dari pesisir barat di Oba hingga semenajung timur di wilayah Gam Range (Weda, Patani dan Maba) serta pulau-pulau di sekitarnya. Wilayah tengah Pulau Halmahera ini merupakan penyanggah utama pangan, niaga dan pasukan.
 
Perubahan terpenting Sultan Syaifuddin ialah menetapkan azas-azas yang merupakan landasan bagi bangunan ketatanegaraan, tata-hubungan sosial kemasyarakatan dan tata niaga Kesultanan Tidore. Loa se Banari (lurus/adil dan benar), Kie se Kolano (kesatuan integralistik pemimpin, yang dipimpin dan semua komponen bangsa), Syah se Fakati (musyawarah dan mufakat), Ator se Atoran (pengaturan fungsi dan wewenang), Adat se Nakodi (keberadaban), Cing se Cingare (pemimpin yang merakyat dan rendah hati/mengayomi), Fara se Filang (pembagian dan distribusi urusan dan bagi hasil/keuangan), merupakan azas-azas berpemerintahan.

Azas-azas hubungan sosial antara lain, Suba se Pakasaan  (saling menghormati), Ngaku se Rasai (saling mengakui/mengapresiasi dan menyayangi), Ole se Nyemo-nyemo, Budi se Bahasa (tatakarama berbicara dan sopan santun dalam pergaulan), Mae se Kolofino tede suba te Jou Ma Dubo (Malu dan takut semata-mata karena Allah SWT, Tuhan Yang Maha Tinggi).

Dalam bidang tata niaga, Syaifuddin menetapkan kepastian jumlah dan takaran barang-barang yang diperdagangkan. Misalnya, jumlah seikat ikan kecil (Tude) 40 ekor, ikan kembung sedang 8 ekor dan ikan kembung besar 6 ekor. Satu Galafea ikan Julung kering terdiri dari 10 Waya (jepitan dari bambu), satu Waya isinya 23-24 ekor. Seikatan Gaba (Baliu) isinya 20 batang. Seterusnya mengatur pula panjang dan jumlah kayu dalam kubikasi, dan lain sebagainya.

Sultan Syaifuddin bahkan memantapkan kebijakan bidang keagrariaan dengan tataguna tanah dan hutan yang relatif baik.  Aha Kolano (Tanah Negara) digunakan hanya untuk Tola Gumi (kebun sementara) dan pembukaan ladang baru untuk tumpang sari. Tomako ma ace  (bekas/jejak tebasan kapak), lahan yang hutannya dapat dimanfaat untuk keperluan bahan bangunan dan kayu bakar. Jurami, kebun khusus komoditi tertentu dengan sistem bagi hasil. Gura, kebun tetap tanpa bagi hasil. 

Azas-azas Sultan Syaifuddin dalam uraian terdahulu, adalah azas-azas hukum (rechtstiegin-selen) yang dalam perspektif ilmu hukum merupakan landasan pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum, atau serangkaian norma dasar bagi pembentukan hukum positif.

Dari azas-azas tersebut, Sultan Syaifuddin kemudian melakukan perubahan terbesar dan terpenting melalui serangkaian reformasi tata kepemerintahan kesultanan. 
Tatanan peninggalan Sultan Jamaluddin I alias Ciriliyati yang merupakan perubahan tahap awal yang disebut Kolano se i Bobato Dunnya  se i Bobato Acherat  (Kolano/Sultan dengan Perangkat urusan pemerintahan-adat dan Perangkat Urusan Syari’ah-Keagamaan), diubah-sempurnakan oleh Syaifuddin menjadi Kolano se i Bobato Pehak Raha (Kolano/Sultan dengan Empat Perangkat Utama).

Pehak Labe, membidangi urusan keagamaan, syar’i dan peradilan, dipimpin oleh Qadhi, mengkoordinir para imam, khatib dan modim, mulai dari perangkat di level atas dan seterusnya ke bawah sampai ke kampung-kampung.

Pehak Adat, membidangi urusan pemerintahan, dipimpin oleh Jojau (Perdana Menteri) mengkoordinir Kapita Lau (Menteri/Panglima Pertahanan Keamanan), Hukum Yade (Menteri Urusan Luar), Hukum Soasio (Menteri Urusan Dalam) Bobato Ngofa (Urusan Kabinet)
Pehak Kompania, membidangi urusan Pertahanan Keamanan, dimpin oleh Kapita Kie (Kepala Staf), dibantu oleh Jou Mayor dan Kapita Ngofa.

Pehak Juru tulis, membidangi urusan Administrasi Negara dan Tatalaksana, dipimpin oleh Tuli lamo/Tullamo  (Menteri Sekretaris Negara), mengkoordinir Sadaha (Urusan Rumah Tangga Istana), Sowohi Kie (Protokoler Kesultanan), Fomanyira Ngare (Humas), Syahbandar (Administrasi Pelayaran).

Rangkain penataan itu sampai ke struktur pemerintahan bawah, Nyili Lofo-lofo, Oba, Weda, Patani Maba, Nyili Gulu-gulu, Raja Ampat dan Papua, Fato Sio dan Fato Limau, meliputi Seram, Kai Tanimbar dan sekiatarnya.

Dari kedudukan dan fungsi Pehak Raha dan perangkatnya, dapat dipersamakan dengan gabungan departemen yang memiliki kedekatan fungsi dan tugas, yang dikepalai oleh seorang Menteri Koordinator. Pemantapan fungsi Bobato Nyagimoi se Tufkange (Bobato 18), lembaga yang berfungsi sebagai parlemen atau lembaga legislatif. Di dalamnya terdiri atas 9 orang dari jajaran Pehak Labe, yakni Qadhi, para Imam atau Bobato Acherat yang juga merupakan Mahkamah Peradilan, dan 9 bobato dari Pehak Adat (urusan pemerintahan).

Lembaga Bobato 18 ini merupakan lembaga tertinggi yang menetapkan Fato se i Bobato (ketentuan/peraturan pokok dan lembaga yang berkewenangan). Fato se Bobato dalam mekanisme dan hirarki perundangan-undangan di Indonesia dapat dipersamakan dengan Ketetapan MPR dan sebagainya.
Berikutnya Kolano se i Bobato (Kolano/Sultan dan keputusannya). Membandingkannya dengan mekanisme pembuatan perundangan di Indonesia, Kolano se i Bobato dapat dipersamakan dengan Keputusan Presiden, Instruksi Presdiden, bahkan untuk konteks masalah yang bersifat strategis, dapat dipersamakan dengan Perpu.

Sementara Syah se Fakati (mengesahkan dan menyepakati) merupakan mekanisme pembuatan perundangan atas usul inisiatif, untuk kemudian dipertimbangkan dan disahkan oleh intitusi berkewenangan yang kedudukannya lebih tinggi dari pengusul atau penginisitif. Misalnya para bobato tingkat daerah mengajukan inisiatif pengaturan hal-hal penting tertentu kepada Sultan. Sultan mempertimbangankannya, menyetujui dan mengesahkannya.

Keseluruhan gagasan dan konsep tersebut merupakan paradigma yang maju dan modern kurun itu. Azas-azas kepemerintahan misalnya, memuat tegas prinsip ketuhanan, moralitas dan etik, prinsip pemerintahan demokratis (democratic government), pembagian dan distribusi kekuasaan (distrubution/separation of powers), otonomi dan desentralisasi, serta praktik pembagian keuangan antara pusat dan daerah. 

Jika menyelaraskan Azas-azas dan praktik kepemerintahan dengan Azas-azas Hubungan Sosial konsepsi Sultan Syaifuddin maka prinsip-prinsip Good Governance  telah menjadi kesadaran bahkan telah dipraktekkan.

Sementara, sejarah mencatat reorientasi dari paradigma Goverment dengan kekuasaan yang dominan, hirakis dan cenderung tertutup ke paradigma Good Governanance yang lebih demokratis, egaliter, partisipatif, baru berkembang di Barat abad ke-20 dan perlahan berevolusi ke kematangannya, meluas ke negara-negara dunia ketiga baru pada 1970an, seiring intensitas kampanye demokratisasi oleh Barat.

Keseluruhan gagasan dan konsepsi negara modern Sultan Syaifuddin dimulai pada 1663. Dalam dekade yang bersamaan dengan John Locke meraih gelar sarjana mudanya di Universitas Oxford pada 1656 dan sarjana penuh pada 1658.
Locke yang lahir di Wrington, Inggris, 1632, tumbuh menjadi anak muda multi talenta, meminati sekaligus beberapa ilmu pengetahuan, kimia dan kedokteran, politik hingga filsafat sebagai pamuncak. Namun terdapat kalangan menyebutkan sampai dengan tahun 1670, Locke belum dapat dikatakan sebagai seorang filsuf. Pada saat yang sama Sultan Syaifuddin di Tidore telah mantap dengan konsep negara modern yang aplikatif, bahkan telah menerpakannya.

Sedikit menyinggung pemikiran John Locke dan Montesquieu yang masyuhur itu dan Indonesia termasuk negara yang mengadopsinya. Locke dengan konsepsi “pembagian kekuasaan” dalam magnum opus-nya “Two Treatises of Government” (1689), membagi kekuasaan negara ke dalam tiga fungsi, yakni fungsi legislative, fungsi eksekutif dan fungsi federatif.
Setengah abad kemudian Charles Secondat Baron de Labrede et de Montesquieu (1668-1748) dengan L’Espirit des Lois (The Spirit of the Laws) yang terbit pada 1748.

Montesquieu mengusung konsespsi “pemisahan kekuasaan” yang kemudian dikenal dengan Trias Politika. Montesquieu membagi kekuasaan negara dalam tiga matra, yakni, kekuasaan membuat undang-undang (legislatif), kekuasaan menyelenggarakan undang-undang (eksekutif) dan kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran undang-undang (yudikatif).

Kedua konsepsi memiliki tujuan sama menghindari peguasa dengan kekuasaannya yang melampaui batas dan menjadi sewenang-wenang. Untuk itu diperlukan mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances system). Perbedaannya, Locke memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif. Artinya dari ketiga fungsi kekuasaan yang dipisah oleh Locke, 2 (dua) kekuassan berada di tangan raja (pengusa) dan 1 (satu) berada di tangan kaum bangsawan. Sementara Montesquieu lebih menguatamakan fungsi kekuasaan kehakiman (judicial), dan memisahkan ketiga fungsi kekuasaan secara tegas.

Memperhatikan tenggat waktu, Sultan Syaifuddin menerapkan konsep dan pemikiran kenegaraannya yang matang melalui penetapan azas pemerintahan, azas hubungan sosial, dan azas tataniaga, merancang sistem ketatanegraan yang modern dan demokratis pada 1663. Lebih dini 26 tahum dari tahun penerbitan magnum opus Jhon Locke, Two Treatises of Government (1689) dan 85 tahun dari tahun penerbitan Magnum opus Montesquieu, L’Espirit des Lois (1748).

Sebagai sebuah konsep, pemikiran Locke dan Montesquieu tentu tidak serta-merta dan seketika itu juga dirujuk oleh negara bangsa di Eropa. Konsep tersebut melalui proses diskursus panjang sampai diyakini sebagai konsep yang baik untuk diimplementasikan. Sampai pada titik ini, tak berlebihan jika mengatakan konsepsi negara modern dan demokratis dari Sultan Syaifuddin, salah satu sultan besar Tidore, eksis lebih kurang 1 (satu) abad sebelum konsepsi dan pemikiran Locke dan apalagi Montesquieu diadopsi oleh negara-negara di barat.

Walaupun konsepsi negara modern Syaifuddin tidak tertulis sehingga membuat relatif sulit membandingkannya vis a vis, tegas dan metodis terhadap konsespsi Locke dan Montesquieu. Namun melihat falsafah, esensi dan efektifitasnya, wacana ini rasanya patut mendapat perhatian.

Di titik inilah tantangan generasi Tidore dan Maluku Utara menggali dan mengembangkannya. Pihak perguruan tinggi, khususnya dosen dan mahasiswa pascasarjana konsentrasi hukum dan lebih khusus lagi Hukum Tata Negara semoga tertarik meneliti dan menulisnya agar menjadi sumbangsih bagi bahan studi ilmu hukum dan politik di Indonesia.

◻Sofyan Daud, Budayawan Maluku Utara
24 September 2016


0 komentar:

Posting Komentar