Selasa, 22 November 2016

Mahalnya Pilgub Malut


Gubernur Malut Thaib Armaiyn saat coblos Pilgub 1 Juli 2013 lalu. - foto Erwin MP


JUMAT (2/8/2013), publik mendapat informasi melaluiBiro Keuangan Provinsi Maluku Utara yang mengungkapkan anggaran pilgub putarankedua yang diusulkan KPU Malut, Bawaslu dan Polda mencapai Rp 58 Miliar lebih.Lalu, tahukah berapa dana Pilgub Putaran Pertama Juli lalu? Jumlahnya Rp107,752 Miliar. Jika ditambahkan, maka totalnya mendekati Rp 200 miliar.

Bisa dibayangkan, bila uang rakyat sebesar itu bila dialokasikan full untuk membenahiinfrastruktur dasar di Sofifi misalnya, dipastikan ibukota provinsi itu neces,baik jalannya, air bersihnya, ataupun bangun perkantoran dan fasilitas publiklainya. Itu belum terhitung berapa puluhan, bahkan ratusan, fulus yangdikeluarkan para kandidat (6 pasangan calon) pada pilgub putaran pertama lalu,dan putaran kedua nanti. Kalau sekadar berandai, mungkin jumlahnya melewatisetengah triliun uang yang ‘tumpah’ pada momentum pilgub ini.

Wah ! Ternyata begitu mahalnya ongkos pilgub hanya untuk memilih pemimpin di tengah rakyatyang susah dan papah. Begitulah, pemilukada atau pilgub menjadi arena senimemainkan kemungkinan (uang). Seperti berjudi; lagi beruntung, kita dapat. Lagibuntung, kita apes. Politik bisa membuat orang kaya tapi juga membuat orangmiskin. Segala kemungkinan bisa terjadi.

Kemahalan pilgub ini pula yang memunculkan satu pendapat, yaitu pemilu kepala daerah yangterlalu mahal dapat menjadi penyebab seorang kepala daerah melakukan korupsi.Memang biaya selama ini berkisar antara ratusan miliar sampai triliunan rupiah,pada akhirnya, daerah yang semula sebagai lumbung padi, lalu berubah menjadilumbung korupsi. Mengapa? Ambil contoh, biaya yang dikeluarkan seorang calonkepala daerah untuk pilkada mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah.Sementara, gaji seorang kepala daerah tidak cukup untuk membayar keseluruhanbiaya pilkada tersebut. Sehingga salah satu pemicu kepala daerah itu melakukankorupsi adalah untuk membayai biaya pilkada yang mahal.

Kandidat yang menang akan mengisi kembali pundi-pundinya yang sudah terkuras. Dan tentusaja mengisi lebih banyak lagi pundi-pundi keuangannya untuk mengejar lagikekuasaan. Sebaliknya dalam asumsi yang sama terkandung fakta bahwa yang kalahakan menanggung risiko – mungkin lebih buruk menjadi apes secara ekonomis.

Dalam sistem pemilihan langsung oleh rakyat seperti ini, hal yang sama juga terjadi, yaituarena “politik penyuapan” bergeser dari DPRD ke partai dan rakyat. Hampir tigaperempat biaya pemilukada tersedot dalam urusan partai. Kandidat harus terlibattranskasional dengan partai. Lalu dari laporan keuangan calon selama kampanye,diketahui hanya sedikit dana yang digunakan. Dana kampanye ke kampung-kampungdan mobilisasi massa. Prosesnnya juga trickle down, menetes dari atas ke bawah.Dari calon ke tim sukses. Dari tim sukses ke rakyat. Dan kita tahu prosestrickle down ini menguntungkan siapa.
 
Dari mana uang-uang ini? Sangatlah sulit dilacak, kendati ada undang-undang yang mengaturdana-dana kampanye. Masalah yang sama bukan saja menjadi milik Indonesia. Dinegara-negara maju juga sama. Tapi bedanya di negara maju, kontrol media yangkuat dan hukum yang tegas akan mengerem penyimpangan dalam pengumpulan danakampanye. Inilah salah satu titik lemah di dalam praktik politik di negeri ini.Dari mana dana-dana politik itu diperoleh, tidak terendus dengan baik.Sumber-sumber dana partai tidak menjadi konsumsi publik.

Kalau kita percaya pada adagium bahwa tidak ada makan siang yang gratis, maka dana-danapolitik ini akan dibayar kembali melalui investasi di daerah melalui kegiatanproyek-proyek pemerintah. Apakah ada hubungan dengan dana-dana politik tadi?Kita semua tentu tidak tahu. Politik berjalan dalam kerahasiaan penuh.

Tentunya, semua orang harus bersepakat politik uang merusak eksistensi demokrasi sebagaisistem politik dan pemerintah. Kekuatan uang melahirkan oligarki politik yaitukekuasaan dipegang oleh segelintir orang. Politik uang menciptakan budayapolitik masyarakat yang tidak berkeadaban. Masyarakat akan terbiasa denganpolitik transaksional pragmatis sehingga melahirkan pemimpin politik danpemerintah yang pragmatis pula.

Jadi untuk pelaku politik, berdemokrasilah dengan menghendaki adanya kompetisi politikyang berasaskan keadilan, kejujuran, dan bertanggung jawab. Bila tidak,provinsi ini, membutuhkan waktu yang lama untuk membangun demokrasi yangberkualitas, bermatabat, dan murah. [*]

Oleh : Alloed Dahlan

*Catatan ini pernah dimuat di kolom Sikap Redaksi Malut Post | Terbit, Edisi Sabtu 03 Agustus 2013


Related Posts:

  • Memoar Jalan Revolusi (1) Minggu, 12 Februari, seusai blogger gathering dan launching lomba menulis blog "Tidore untuk Indonesia" di Fola Barakati, Cibubur, saya sengaja mengajak Unang Bahrudin alias Oenank Toadore foto bersama. Selain saudara dan… Read More
  • AMANAT Amanat. Satu kata yang terdengar sepeleh dalam ucapan tapi beresiko tinggi. Terlebih bila disalahgunakan. Amanat akar katanya dari "amana", percaya. Jadi amanat ini berkaitan dengan kepercayaan, yakni sesuatu yang diberikan … Read More
  • "Ubah Sejarah, Ubah Taktik" SEJARAH menunjukkan bahwa belum pernah ada satupun tim yang lolos ke babak berikutnya di fase gugur Liga Champions setelah kalah 0-4 di leg pertama. Barcelona mengalami kekalahan telak 0-4 dari Paris Saint-Germain (PSG) k… Read More
  • “Sultan Tidore, Morotai dan Jokowi.”(Gerbang Indonesia Menuju Pasifik) Oleh Syaiful Bahri Ruray Begitu cepatnya kekuasaan meresponi surat Sultan Tidore kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, tentang investasi di Morotai, sungguh melegakan satu sisi. Walaupun banyak dimensi harus di… Read More
  • "Air Mata Bunda"(Sebuah Percakapan Imajiner) Suatu ketika, anak laki-laki saya Abu Dzar Al-Ghiffari bertanya kepada ibunya, Bunda, mengapa menangis? Bundanya menjawab, Sebab bunda adalah perempuan, nak. Saya tak mengerti bunda, kata Aby sapaannya. Bundanya hanya t… Read More

0 komentar:

Posting Komentar