JUMAT
(2/8/2013), publik mendapat informasi melaluiBiro Keuangan Provinsi Maluku
Utara yang mengungkapkan anggaran pilgub putarankedua yang diusulkan KPU Malut,
Bawaslu dan Polda mencapai Rp 58 Miliar lebih.Lalu, tahukah berapa dana Pilgub
Putaran Pertama Juli lalu? Jumlahnya Rp107,752 Miliar. Jika ditambahkan, maka
totalnya mendekati Rp 200 miliar.
Bisa
dibayangkan, bila uang rakyat sebesar itu bila dialokasikan full untuk
membenahiinfrastruktur dasar di Sofifi misalnya, dipastikan ibukota provinsi
itu neces,baik jalannya, air bersihnya, ataupun bangun perkantoran dan fasilitas
publiklainya. Itu belum terhitung berapa puluhan, bahkan ratusan, fulus
yangdikeluarkan para kandidat (6 pasangan calon) pada pilgub putaran pertama
lalu,dan putaran kedua nanti. Kalau sekadar berandai, mungkin jumlahnya
melewatisetengah triliun uang yang ‘tumpah’ pada momentum pilgub ini.
Wah ! Ternyata begitu mahalnya ongkos pilgub
hanya untuk memilih pemimpin di tengah rakyatyang susah dan papah. Begitulah,
pemilukada atau pilgub menjadi arena senimemainkan kemungkinan (uang). Seperti
berjudi; lagi beruntung, kita dapat. Lagibuntung, kita apes. Politik bisa
membuat orang kaya tapi juga membuat orangmiskin. Segala kemungkinan bisa
terjadi.
Kemahalan
pilgub ini pula yang memunculkan satu pendapat, yaitu pemilu kepala daerah
yangterlalu mahal dapat menjadi penyebab seorang kepala daerah melakukan
korupsi.Memang biaya selama ini berkisar antara ratusan miliar sampai triliunan
rupiah,pada akhirnya, daerah yang semula sebagai lumbung padi, lalu berubah
menjadilumbung korupsi. Mengapa? Ambil contoh, biaya yang dikeluarkan seorang
calonkepala daerah untuk pilkada mencapai puluhan hingga ratusan miliar
rupiah.Sementara, gaji seorang kepala daerah tidak cukup untuk membayar
keseluruhanbiaya pilkada tersebut. Sehingga salah satu pemicu kepala daerah itu
melakukankorupsi adalah untuk membayai biaya pilkada yang mahal.
Kandidat yang menang akan mengisi kembali
pundi-pundinya yang sudah terkuras. Dan tentusaja mengisi lebih banyak lagi
pundi-pundi keuangannya untuk mengejar lagikekuasaan. Sebaliknya dalam asumsi
yang sama terkandung fakta bahwa yang kalahakan menanggung risiko – mungkin
lebih buruk menjadi apes secara ekonomis.
Dalam
sistem pemilihan langsung oleh rakyat seperti ini, hal yang sama juga terjadi,
yaituarena “politik penyuapan” bergeser dari DPRD ke partai dan rakyat. Hampir
tigaperempat biaya pemilukada tersedot dalam urusan partai. Kandidat harus
terlibattranskasional dengan partai. Lalu dari laporan keuangan calon selama
kampanye,diketahui hanya sedikit dana yang digunakan. Dana kampanye ke
kampung-kampungdan mobilisasi massa. Prosesnnya juga trickle down, menetes dari
atas ke bawah.Dari calon ke tim sukses. Dari tim sukses ke rakyat. Dan kita
tahu prosestrickle down ini menguntungkan siapa.
Dari
mana uang-uang ini? Sangatlah sulit dilacak, kendati ada undang-undang yang
mengaturdana-dana kampanye. Masalah yang sama bukan saja menjadi milik
Indonesia. Dinegara-negara maju juga sama. Tapi bedanya di negara maju, kontrol
media yangkuat dan hukum yang tegas akan mengerem penyimpangan dalam
pengumpulan danakampanye. Inilah salah satu titik lemah di dalam praktik
politik di negeri ini.Dari mana dana-dana politik itu diperoleh, tidak terendus
dengan baik.Sumber-sumber dana partai tidak menjadi konsumsi publik.
Kalau
kita percaya pada adagium bahwa tidak ada makan siang yang gratis, maka
dana-danapolitik ini akan dibayar kembali melalui investasi di daerah melalui
kegiatanproyek-proyek pemerintah. Apakah ada hubungan dengan dana-dana politik
tadi?Kita semua tentu tidak tahu. Politik berjalan dalam kerahasiaan penuh.
Tentunya,
semua orang harus bersepakat politik uang merusak eksistensi demokrasi
sebagaisistem politik dan pemerintah. Kekuatan uang melahirkan oligarki politik
yaitukekuasaan dipegang oleh segelintir orang. Politik uang menciptakan
budayapolitik masyarakat yang tidak berkeadaban. Masyarakat akan terbiasa
denganpolitik transaksional pragmatis sehingga melahirkan pemimpin politik
danpemerintah yang pragmatis pula.
Jadi
untuk pelaku politik, berdemokrasilah dengan menghendaki adanya kompetisi
politikyang berasaskan keadilan, kejujuran, dan bertanggung jawab. Bila
tidak,provinsi ini, membutuhkan waktu yang lama untuk membangun demokrasi
yangberkualitas, bermatabat, dan murah. [*]
Oleh
: Alloed Dahlan
*Catatan ini pernah dimuat di kolom Sikap Redaksi Malut Post
| Terbit, Edisi Sabtu 03 Agustus 2013
0 komentar:
Posting Komentar